8 - Forest

118 20 0
                                    

Aku sekarang sudah mengerti sebagian bentuk emosi. Tidak seperti ketika pertama kali Professor mengaktifkan program Heart. Aku masih ingat, waktu itu rasanya aku ini bodoh sekali, seperti sebuah prototype yang belum memiliki satu pun data.

Namun, Professor berkata jika ada beberapa emosi yang belum aku mengerti. Entahlah, setidaknya aku sudah tahu alasan mengapa Professor selalu menolak untuk menjelaskan tentang emosi.

Tentu saja, itu karena ia ingin aku mengetahui apa itu emosi setelah merasakannya sendiri. Menurutku, itu memang lebih mudah dimengerti daripada harus menulis puluhan paragraf eksplanatif demi menjelaskan beberapa emosi yang cukup rumit.

Satu hal lagi yang aku pelajari hari ini. Bosan, begitulah mereka menyebut emosi yang sedang kurasakan. Dengan sangat terpaksa aku harus diam dan mendengarkan perdebatan yang tak berujung ini.

"Apa yang kalian pikirkan?! Libur semester ini hanya datang dua kali dalam setahun. Bagaimana kalian bisa menikmatinya jika hanya berdiam diri di museum, melihat peninggalan manusia zaman batu?" Kayla mentah-mentah menolak ajakan Sean yang bahkan sudah bersedia menanggung semua biaya perjalanan liburan ini.

Yang sebenarnya terjadi beberapa menit yang lalu adalah Sean iseng bertanya tentang rencana liburan semester genap setelah berhari-hari berhadapan dengan soal ujian kenaikan kelas. Kayla berkata jika dia tidak memiliki rencana apa pun, dan mengusulkan agar kami menyusun rencana untuk liburan bersama.

"Lalu apa yang kau inginkan? Ini sudah yang kedua belas kalinya kau menolak ide kami bertiga," balas Ray yang sudah mulai kesal. Sean mengangguk setuju. Ini memang yang kedua belas kalinya. Wajar jika mereka sebal.

"Tentu saja mengunjungi museum ada manfaatnya. Kita biaa belajar bagaimana orang zaman dahulu hidup, sehingga tidak merusak alam," papar Sean seraya menggebrak meja.

"Ayolah, jika kalian belum menemukan kesepakatan, aku pergi saja daripada menonton debt kusir ini," ucapku yang sejak tadi hanya terdiam, melihat mereka beradu argumen.

"Isabelle, kau jangan begitu. Aku janji tidak akan ada perdebatan lagi," bujuk Kayla sambil menarik lenganku agar segera kembali.

"Oh, aku tidak percaya jika tidak akan ada perdebatan. Kau sudah mebgatakan itu empat kali," gerutu Sean sambil mengacungkan empat jarinya. Lima kali dirinya menusulkan rencana liburan, lima kali itu juga ide cemerlangnya ditolak.

Ray menghela napas panjang. "Baiklah, aku punya satu ide. Jika kau masij menolak, aku tidak mau tahu lagi." Kami bertiga menatapnya penasaran. Seolah bertanya langsung apa idenya.

"Hutan kota. Kita bisa berjalan-jalan di sana, menghirup udara segar. Dan yang terpenting, kau bisa pulang jika kau bosan," paparnya. Tidak ada komentar, artinya diterima.

*

Keesokannya.

"Hahh ... udaranya sejuk sekali!" seru Kayla setelah jauh memasuki hutan kota yang tak jauh dari apartemen Ray. Kedua pemuda itu memicingkan mata, ini sudah kelima kalinya Kayla mengucapkan kalimat yang sama.

Aku tidak terlalu mempedulikan mereka, sibuk membaca pesan singkat yang dikirimkan Professor kepadaku melalui layar sentuh yang melingkar di pergelangan tanganku.

Memang terlihat seperti arloji biasa, tapi itu adalah model alat komunikasi terbaru. Tidak hanya berfungsi untuk menunjukkan jam dan suhu lingkungan, benda itu bisa berfungsi sebagai pengganti smartphone, GPS, kartu kredit, atau untuk mengakses informasi apa pun lewat jaringan online.

"Isabelle, setelah kau selesai dengan liburanmu, bisa kau datang ke laboratorium? Aku ada proyek yang harus kutunjukkan padamu."

Begitulah isi pesannya. Proyek apa lagi? Apa sesuatu yang lebih hebat daripada heart? Ah, aku benar-benar penasaran. Masalahnya, aku tidak bisa merasakan apa yang Kayla maksud sebagai udara segar — tentu saja karena aku tidak bernapas.

Srekk.

"Akh!" jeritku ketika tidak sengaja menginjak lubang tak terlihat di tengah hutan. Untunglah tangan Ray berhasil meraihku sebelum terjatuh ke bawah sana.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya cemas. Aku mengangguk samar. "Sebaiknya konsentrasi. Kau bisa saja terjatuh. Untung saja masih sempat." Aku juga merasa sangat lega karena hal itu.

Oh ya. Namanya memang hutan kota. Bukan hanya karena di tempat ini banyak pohon. Sekarang ini hutan kota didesain semirip mungkin dengan medan hutan sungguhan. Tidak ada jalan setapak. Semuanya sempurna mirip dengan hutan hujan tropis, kecuali hewan buasnya, mungkin. Karena itu, bagi mereka yang ingin merasakan sensasi jelajah alam, tempat ini cukup sesuai.

"Seandainya semua tempat di bumi sesejuk ini," ucap Kayla, tidak jauh berbeda dengan apa yang ia katakan padaku beberapa minggu yang lalu di dalam kelas.

"Yah, mungkin kita tidak perlu menambah biaya untuk membeli pendingin ruangan," tambah Ray. "Apalagi bagiku yang tinggal sendiri di apartemen, dan harus bekerja paruh waktu untuk mendapatkan biaya hidup," lanjutnya. Sejak orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat, dia memang hidup sendiri di apartemen itu.

"Jika menanam pohon bisa membuat udara lebih sejuk, kenapa pemerintah tidak melakukannya. Mereka bisa membangun reaktor nuklir di ibukota. Apa susahnya menanam satu pohon di setiap bangunan?" komentar Sean.

"Toh juga resiko pembangunan reaktor nuklir jauh lebih besar daripada menanam satu pohon." Aku mengangguk setuju. Resikonya memang besar sekali. Kehidupan satu kota bisa langsung lenyap karena limbah radioaktif.

"Ah, sudahla. Jika kalian terus membicarakan topik berat seperti ini, kita tidak bisa menikmati liburan," ucap Kayla. Walaupun terkadang menyebalkan, Kayla selalu dapat menjadi mood maker. Buktinya, kedua pemuda tadi langsung memperlihatkan ekspresi senang.

Liburan yang menyenangkan.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊

[END] Mechanical HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang