Mataku kembali terbuka perlahan. Aku hampir tidak percaya. Tidak, ini memang mustahil! Aku masih ingat ketika aku terjun dari balkon hingga sebagian besar sistemku menjadi rusak. Auto repair berusaha memperbaikinya, namun tidak berhasil karena energiku habis.
Sekarang, aku kembali terbangun ... dengan rasa sakit ini?!
"Selamat pagi lagi, Isabelle," sapa Billy yang sedang menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri — karena jelas aku tidak perlu makan. Jadi, laki-laki itu benar-benar tinggal di apartemen sekarang?
"Kau pingsan setelah terjatuh sari balkon. Untung saja auto repair masih sempat memperbaikimu," paparnya seraya mengoleskan mentega pada rotinya.
Sial! Aku gagal melenyapkannya?! Keterlaluan! Itu artinya aku masih memiliki rasa sakit itu.
"Hari ini ... para petugas pemadam kebakaran berhasil mengevakuasi seluruh tubuh korban dalam peristiwa itu. Termasuk ... dia," jelas Billy setelah menghabiskan sarapannya.
"Kau ingin melihatnya, penghormatan terakhir beliau?" Aku hanya menggeleng samar. Jika itu hanya akan memperparah sakit yang kualami, lebih baik aku tak pernah melihatnya.
"Ya sudah. Aku pergi sendirian saja." Laki-laki itu langsung pergi keluar apartemen. Aku hanya menunduk dalam-dalam. Benar, ini masih terasa sakit. Apa aku harus melakukannya lagi dengan cara yang lebih baik?
Baiklah, mungkin itu cara terbaik.
Ting tong ~
Suara bel pintu membuatku sedikit terkejut. Apa Billy kembali lagi memgambil sesuatu yang tertinggal? Ah, tidak mungkin. Dia kan punya akses untuk masuk tanpa perlu memintaku membukakannya.
"Isabelle, kau ... tidak pergi?" tanya Kayla tanpa basa-basi ketika pintu terbuka sempurna. Pakaian yang digunakannya hampir semua berwarna gelap, benar-benar membuat keringat cepat keluar di udara panas seperti ini.
"Isabelle, kau baik-baik saja?" tanyanya lagi. Aku hanya menggeleng samar sambil memaksakan diri untuk tersenyum. Tidak apa-apa.
"Ya Tuhan! Kau jelas tidak baik-baik saja, Isabelle. Boleh aku masuk?" tanya gadis itu untuk ke sekian kalinya. Aku tidak menjawab, tidak juga menolak.
Tanpa pikir panjang, Kayla segera menarik lenganku masuk. Menutup pintu hingga terkunci secara otomastis. Dia memintaku untuk segera duduk di sofa. Aku hanya menurut saja.
"Paman Billy berkata padaku, kau jatuh dari balkon. Apa itu benar?" tanya Kayla. Aku tidak menjawab. Sebenarnya ... tidak sepenuhnya jatuh, melainkan menjatuhkan diriku.
"Jangan bilang jika kau sengaja terjun dari balkon!" serunya. Aku tetap bungkam. Apa yang harus kukatakan? Dia sudah menebak semuanya.
"Kau benar-benar terjun?!" Aku masih saja terdiam. "Apa aku benar?! Astaga, kenapa kau melakukannya?! Kenapa? Dunia belum berakhir, Isabelle! Perjalananmu masih panjang!" seru gadis itu tanpa jeda sama sekali. Persis seperti yang aku lakukan kemarin.
"Kau tidak boleh putus asa hanya karena hal semacam itu! Tidak boleh, Isabelle!" serunya lagi dengan mata yang terlihat berkaca-kaca. Heart kembali membuat dadaku terasa sesak.
"Aku tau itu sakit, sangat sakit .... Tapi sesakit apa pun itu ... kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus menghadapinya," ucapnya seraya mengusap air matanya yang mulai jatuh.
"Aku yakin ... kau bukan orang lemah yang akan memilih jalan bunuh diri." Isak tangisnya semakin terdengar jelas. Dadaku terasa bertambah sesak.
"Kau sudah makan?" tanya gadis itu. Aku menggeleng, karena aku memang tidak perlu makan. Aku hanya perlu menonaktifkan diriku selama lima jam untuk mengisi kembali energi yang terbuang.
"Kau harus makan, Isabelle. Aku bersumpah akan melakukan apa pun — termasuk membawamu ke rumah sakit — jika kau tetap tidak ingin makan!" serunya. Aku tetap menggeleng.
"Aku tidak akan makan. Meskipun kau megancam ingin melaporkanku kepada polisi," balasku lirih. Kayla menarik lenganku. Memaksa agar aku bangun dan menuju meja makan. Aku memberontak, tidak ingin mengikutinya.
"Aku tidak perlu makan, Kayla. Biarkan saja aku seperti ini!" seruku. Kayla semakin kuat menarik lenganku, memaksa agar aku mematuhi perintahnya.
"Kenapa?! Aku tidak ingin kau mati!" teriaknya. Aku tetap menolak. Biarkan saja aku mati. Lagipula, aku tidak akan mati jika hanya tidak makan.
Heart kembali menyebabkan rasa sakit pada tubuhku. Aku memegangi bagian yang terasa seperti hampir meledak. "Kenapa ... harus sesakit ini ...?"
Pegangan Kayla pada lenganku melemah. "Maafkan aku, Isabelle. Jika kau ingin menangis sepertiku ... lakukan saja. Itu akan membuatmu merasa lebih baik," ucapnya.
"Aku tidak bisa melakukannya! Jika hanya itu satu-satunya cara untuk meredakan rasa sakit ini ... lebih baik hancurkan saja aku!" balasku. Kayla memapahku agar kembali duduk di sofa. Tatapannya terlihat sangat prihatin.
"Tidak apa-apa, Isabelle. Aku tahu kau adalah pemegang rekor sebagai gadis yang sama sekali tidak pernah menangis. Tapi, aku tidak akan memberitahu siapa pun," ujarnya seraya mengacungkan jari kelingking, berjanji. Aku kembali memggeleng.
"Ayahmu bisa ikut sedih jika melihatmu seperti ini ...." Kayla mengusap air mata di pipinya. Dia ... benar-benar tidak mengetahui apa pun tentang hal itu.
"Kayla ...."
"Iya, ada apa?" tanya gadis berambut hitam itu penasaran. Aku kembali terdiam cukup lama. Sepertinya ... sudah waktunya aku mengatakan ini.
"Aku ingin memberitahumu sesuatu. Tapi sebelumnya ... berjanjilah padaku, kau akan percaya pada apa pun yang aku katakan dan tidak akan memberitahu siapa pun," ucapku. Kayla mengangguk setuju.
"Sebenarnya ...."
*
Author note :
Sesuai judulnya, part ini seharusnya sedih. Tapi maaf kalo adegannya kurang ngena. Percayalah, Ichi udah berusaha sebaik mungkin. Kalo bagi saya, ini sudah cukup membuat saya meneteskan air mata 😂😂.Jangan lupa vote dan comment ya 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Mechanical Heart
Science FictionTahun 2043, kemajuan teknologi berkembang pesat di seluruh penjuru dunia. Menyusul perubahan iklim dunia yang semakin tak dapat dikendalikan hingga menenggelamkan sebagian besar pulau kecil di dunia. Manusia berbondong-bondong menciptakan suatu ino...