4 - Unexpected Battle

156 29 3
                                    

Suara ribut di dekat kami membuat Kayla seketika berhenti mengoceh. Beberapa laki-laki berseragam sekolah —seragam yang memuliki logo sama dengan yang selalu kami kenakan — tampak sedang menindas salah seorang di depan mereka. Ini sudah biasa.

Semaju apapun suatu negeri di dunia ini, bullying tetap saja ada. Bahkan saat malam hari pun, hal itu tetap saja terjadi. Tidak peduli berapa banyak orang yang kehilangan harapan — bahkan nyawa — karenanya, bullying seringkali dianggap hal remeh. Setidaknya, itulah yang teretera dalam basis dataku.

Ray menghela napas berat melihat kejadian yang sukses menyita perhatian kami bertiga. Kayla yang tadinya sibuk berbicara tentang bintang jatuh kini terlihat prihatin melihat gadis berkacamata yang menjadi korban mereka.

"Mereka selalu saja seperti itu," gumam Ray. "Andai saja ada yang bisa memberi mereka pelajaran berharga agar tidak menindas yang lemah," lanjutnya.

Kalimat Ray terngiang-ngiang di telingaku. "Memberi mereka pelajaran berharga agar tidak menindas yang lemah." Sejenak aku terdiam di tempatku.

"Processing ...."

"Loading data ...."

"Order accepted ...."

"Attacker Mode activated ...."

Aku berjalan perlahan mendekati mereka. Tanpa menunggu lebih lama, kerah baju dari ketua mereka menjadi sasaran serangan pertamaku. Ya, aku menariknya hingga ia kesulitan bernapas.

"Hei, apa-apaan kamu!" hardiknya seraya menepis tanganku dengan keras, meskipun pada akhirnya dialah yang merasa sakit karena tanganku yang terbuat dari logam.

"Kau ...," geramnya seraya mengepalkan jemari. Aku tetap bergeming. Laki-laki itu terlihat sangat marah. Dia segera meminta teman-temannya untuk menjaga mangsanya agar tidak lepas begitu saja.

Satu dua pukulan melayang ke arahku. Namun sia-sia saja, aku bisa membaca serangan itu hingga dengan mudah menghindarinya. Pukulan demi pukulan terus dilakukannya. Dia terlalu kalap hingga tanpa sadar hanya memberikan serangan random kepadaku.

Sejauh ini, aku memang belum menyerang sama sekali. Yang kulakukan hanyalah menghindari serangannya. Hingga akhirnya, sebuah pukulan sukses mengenai bahuku hingga menyebabkan sedikit kerusakan di sana.

Sebuah seringaian puas tergambar jelas di wajah laki-laki itu. Seringai yang akhirnya memudar begitu melihat tubuhku yang kembali seperti semula berkat program auto repair.

Baiklah, sudah cukup bermain-main. Aku tidak suka membuang banyak waktu.

Dia semakin kalap ketika mengetahui aku sama sekali tidak terluka. Dengan mudah, aku meraih salah satu tangannya yang menyerangku secara tidak beraturan, kemudian membantingnya sekeras mungkin ke trotoar.

Terdengar suara sebuah benda yang jatuh dari ketinggian hingga "membuat tubuh terasa ngilu." Kalimat itulah yang sering diucapkan Professor yang ketika mendengar suara seperti yang baru saja kubuat.

Dia menatapku nanar sambil berusaha bangkit dari tanah. Tanpa pikir panjang, dia dan yang lainnya segera mengambil langkah seribu, kabur dari tempat kami. Gadis berkacamata itu mengucapkan terima kasih padaku lalu segera pergi.

"Wow, keren! Isabelle, aku tidak tahu kau bisa karate," ungkap Ray kagum. "Itu sangat hebat bagi serorang gadis." Kayla yang berada di dekatnya bahkan tidak bisa menahan diri untuk ternganga melihat aksiku yang tidak ada apa-apanya.

"Kau berhasil mengalahkan mereka. Setelah ini, semoga saja mereka segera kapok," kata Kayla semangat. "Kau bahkan tidak terluka karenanya." Aku tidak menanggapinya.

"Jika benar bintang jatuh bisa mengabulkan permintaan, kenapa kau tidak meminta agar dunia ini aman?" tanya Ray dengan nada yang tidak bersemangat sama sekali.

"Sudahlah, Ray. Jangan bahas itu lagi jika kau tidak mau percaya!" seru Kayla kesal sambil berusaha memukul Ray. Laki-laki itu dengan sigap menghindarinya sehingga membuat Kayla semakin kesal karena pukulannya meleset.

Malam itu, aku kembali menemukan sebuah keanehan. Mengapa manusia merasa perlu untuk menolong seseorang yang bahkan tidak mereka kenal?

Oh, ternyata ada banyak keanehan di dunia ini. Khususnya mengenai emosi.

*

Mobil listrik milik Professor melaju di jalanan kota yang masih lengang. Jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Saat hari libur seperti ini, jalan raya tidak ada bedanya dengan jalan tol. Hanya ada beberapa mobil yang melintas.

Tentu saja itu karena hanya beberapa orang saja yang memiliki kendaraan seperti ini. Bahan bakar fosil sudah banyak ditinggalkan warga kota karena harganya yang meningkat sepuluh kali lipat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Mereka lebih memilih untuk menggunakan sepeda atau kereta cepat untuk bepergian.

Pembangkit listrik juga tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil. Mereka sudah menggunakan energi alternatif seperti sinar matahari dan angin. Termasuk sumber energiku juga. Bahkan, negara ini juga sedang mengembangkan energi listrik yang berasal dari reaktor nuklir.

"Professor, apa yang akan kita lakukan sepagi ini?" tanyaku penasaran. Ini sudah yang kesepuluh kalinya aku bertanya sejak dari apartemen.

"Kau akan tahu nanti, Isabelle," jawab Professor. Jawaban yang juga sama sebanyak sepuluh kali berturut-turut. Apa ini benar-benar rahasia sehingga hanya bisa dibicarakan di laboratorium?

Mobil listrik Professor perlahan berhenti di sebuah bangunan berdinding kaca yang sangat kukenali. Ini adalah tempat dimana aku dilahirkan. Iya, Central Laboratory.

Beberapa orang berpakaian serba putih menyapa Professor, dan juga aku tentunya. Mereka tahu jika aku adalah android. Jadi, mereka sudah terbiasa jika aku tidak merespons. Bukan apa-apa. Masalahnya, aku tidak tahu bagaimana harus meresponsnya.

"Selamat pagi, Isabelle. Hari ini pasti akan menjadi hari yang akan mengubah hidupmu," ucap pemuda yang merupakan salah satu asisten Professor.

"Billy, bisakah kau merahasiakan itu?" tanya Professor. Pemuda itu hanya tertawa kecil lalu kembali mengurus pekerjaannya sendiri. Meninggalkan kami berdua di dalam ruangan.

"Jadi, sebaiknya kita jangan membuang banyak waktu. Langsung saja," kata Professor sambil menyalakan pc tablet miliknya.

"Aku sebenarnya ingin mencoba proyek baruku. 'Heart,' begitulah aku menyebutnya. Program ini sudak kurancang selama bertahun-tahun, sejak awal masa percobaanmu. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana program ini bekerja. Intinya, dia bekerja seperti hati manusia pada umumnya," jelas Professor panjang lebar.

"Bisa kau jelaskan lebih detail?" tanyaku. Professor tampak bingung darimana harus menjelaskannya. Dia memegangi dagunya, tampak berpikir.

"Aku tidak bisa. Sebaiknya kita langsung saja," ucapnya. Aku tidak bisa banyak bertanya jika sudah seperti ini. Tanpa menunggu lama, aku berjalan menuju sebuah tabung kaca yang diletakkan persis di tengah ruangan.

"Selamat tidur, Isabelle." Suara itulah yang aku dengar sesaat sebelum Professor menonaktifkanku. Sebuah senyuman tampak mengembang.

Senyuman yang tersimpan dengan baik di dalam memoriku.

*

[END] Mechanical HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang