Eight

12.5K 852 6
                                    

Senyum Nayara langsung terbit saat membaca nama Gilbert di layar ponselnya. Sudah terhitung tiga hari Gilbert pergi ke Surabaya. Itu artinya empat hari lagi mereka berdua akan berubah status menjadi sepasang suami istri.

Begitu mengangkat panggilan video itu, layar ponsel Nayara langsung dipenuhi dengan wajah Gilbert yang kini terlihat lelah.

'Hai, Nay.' sapa pria itu dengan suara lemah. Nayara mengerutkan keningnya tidak suka saat melihat keadaan Gilbert yang seperti ini. 'Apa masalahnya seberat itu ? Lo-ehm maksudku, kamu kelihatan capek banget.'

Masih dengan wajah lelahnya, Gilbert tersenyum kecil. 'See ? Nggak gampang kan ngerubah panggilan ?'

Nayara menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. 'Kamu belum jawab pertanyaanku.'

'Pertanyaan ? Emangnya kamu tadi nanya apaan ?'

'Budeg dasar. Tadi itu aku tanya apa masalahnya berat banget ? Sampe kamu kelihatan capek begitu.'

Kedua mata Gilbert terpejam lelah untuk beberapa saat. Sampai akhirnya dia berkata, 'Kamu ingat Tama ?'

'Adik kelas SMA kita yang kamu kasih kerjaan di showroom Surabaya itu kan ?'

'Yes, he is. Sepertinya, aku terlalu percaya sama dia. Dia udah aku angkat jadi manajer dua tahun ini. But, he screwed up, Nay. Tama manipulasi semua data, bahkan dia mencuri beberapa onderdil buat dijual dengan harga lebih tinggi di luar sana.'

Nayara terkesiap pelan saat mendengarkan penjelasan singkat dari Gilbert. Pantas saja, sahabatnya itu terlihat begitu kacau. 'Terus, Tama kamu apain ?'

'Tentu aja aku pecat.'

'Nggak ada rencana buat nuntut dia ?'

Gilbert menggeleng pelan. 'Aku rasa nggak perlu. Kamu tahu kan, Nay, kalo aku paling males berurusan dengan hal-hal ribet kayak gitu.'

Hening sejenak diantara kedua insan itu.

'Nay, kayaknya aku belum bisa pulang besok.'

Nayara menghela napas keras. 'Yah, ya sudah. Mau gimana lagi. Kita juga nggak ngeduga bakal ada masalah seperti ini di showroom kamu.'

'Aku udah manggil Guntur buat bantuin aku di sini.'

'Guntur si manajer Bali ?'

'Yup. Dua hari aku handle semuanya sendiri. Terus tadi pagi aku panggil dia buat ke sini. Bisa nggak dateng ke nikahan sendiri kalo aku kerja sendirian terus.' ucap Gilbert dengan nada suara gelinya.

Pandangan Nayara menyipit. 'Langsung gue bakar garasi rumah lo kalo lo nggak pulang waktu pernikahan kita.' ancamnya kejam.

Gilbert langsung memasang wajah pura-pura takutnya. 'Ampun, Ndoro Nayara. Gue juga nggak setega itu ngebiarin calon istri gue ini berdiri sendirian di depan altar.'

Mereka berdua sama-sama tertawa pelan.

'Kita balik lagi ke gue lo, Gil.'

'Nggakpapa. Aku nggak masalah kalo campur-campur. Asal jangan sampe kedengeran sama keluarga kita aja.'

Keduanya saling melempar senyum bodoh untuk sepersekian detik. Gilbert lah yang pertama kali berdeham, menyadarkan keduanya untuk kembali ke alam nyata. 'Bunga buat pernikahan udah jadi belum ?'

'Belum. Aku nyelesaiin tiga pesenenan orang dulu.'

Mata Gilbert mendelik tidak percaya. 'Kamu harus ngutamain nikahan punya kamu dulu dong, Nay. Masak nanti waktu nikah kamu pake buket bunga asal.'

Roll the Dice On - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang