Twenty Five

12.3K 823 27
                                    

"Aku lelah, Nay. Aku lelah menunggu kamu yang sama sekali tidak menyadari perasaan aku."

Nayara tidak bisa mencerna dua kalimat yang diucapkan oleh suaminya – Gilbert. Ia menatap manik mata pria di hadapannya dengan seksama dan tidak menemukan suatu kebohongan pun di sana.

Tak berbeda jauh dari Nayara, Gilbert pun kini seakan diterpa sesuatu yang membuat dirinya menjadi ling lung. Ia kemudian menarik istrinya dan menuntun wanita itu ke dalam kamar mereka. Gilbert tidak ingin ada anggota keluarganya yang lain yang melihat pertengkaran antara dirinya dan Nayara. Cukup kakaknya seorang saja yang tahu, jangan sampai masalah ini merembet kemana-mana.

"Nayara, here's the thing. Maaf jika aku mendapatkan kamu sebagai istri dengan cara membohongi kamu. Tapi, bukan kah pada akhirnya kita menikah karena kamu yang menyusulku sampai ke Jerman dan mengatakan jika kamu tidak bisa hidup tanpa ada aku ?" Gilbert membuka suara kembali setelah cukup lama hanya ada keheningan di antara dirinya dan Nayara.

Nayara mendongak lalu menatap Gilbert dengan ekspresi serta tatapan yang campur aduk. "Kamu mencoba membela diri, Gil ? Gil, asal kamu tahu, kalau tidak ada ide perjodohan ini, aku tidak akan pernah berpikiran untuk menikah dengan kamu. Aku pasti akan mencari pria lain dan membuat pria itu menjadi suami aku."

Ucapan dari mulut Nayara benar-benar melukai pria di hadapannya. Gilbert menyeringai miris. "Begitu, Nay ? Jadi, sedari awal, aku sama sekali tidak ada di list calon suami kamu ? Aku seburuk itu kah ?"

Nayara bungkam. Perasaan bersalah kini diam-diam merambat naik memenuhi dadanya. Bukan, sungguh bukan itu yang ingin dia sampaikan. Tapi, egonya benar-benar menguasai otaknya, membuat Nayara tidak ingin mengiyakan begitu saja kalimat awal Gilbert tadi.

"Jadi, siapa sebenarnya pria yang ingin kamu jadikan suami, Nay ? Arvin ? Mikhael atau Yoel mantan terindah kamu itu ?" Gilbert mengatakannya dengan suara meninggi karena sudah mulai dikuasai amarah bercampur cemburu.

Kedua mata Nayara menyipit, tidak terima dengan suaminya yang malah mengungkit masa lalunya. "Kamu kenapa malah nyebutin mantan-mantan aku itu ?"

Gilbert menyugar rambutnya kasar. "Memangnya siapa lagi, Nay, selain mereka ? Atau kamu masih mau mencari pria lain lagi ? Yang lebih ganteng atau kaya ?"

"Gilbert!" Nayara benar-benar didera amarah. Napasnya kini sudah mulai tidak teratur. "Kamu yang paling tahu kalau aku bukan perempuan seperti itu kan ? Atau jangan-jangan, selama ini aku salah, Gil ? Ternyata seperti itu aku di mata kamu, begitu ?"

Tanpa sadar, air mata sudah menggenang di pelupuk mata Nayara. Wanita itu mengepalkan kedua tangannya, menahan sekuat mungkin agar air matanya tidak jatuh. Pemandangan itu sama sekali tidak luput dari kedua manik hijau milik Gilbert. Pria itu menggeram frustasi dalam hati. Sedari dulu, ia paling tidak suka jika mata indah Nayara berlinang air mata. Dan kini, Gilbert merasa begitu benci dengan dirinya sendiri karena telah menjadi penyebab istrinya menangis.

"Don't, Nay. Please don't cry." nada suara Gilbert melembut. Ia mendekatkan dirinya pada Nayara lalu menghapus setetes air mata yang baru saja turun membasahi pipi wanita itu.

Nayara memegang tangan Gilbert lalu menurunkannya dari wajahnya. "Aku mau pulang, Gil."

"Pulang kemana ? Ini rumah kamu, Nay."

"Kamu tahu apa yang aku maksud, Gil." ucap Nayara lirih. Gilbert menggelengkan kepalanya dengan tatapan memohon. "Please, Nay, tetap di sini aja ya. Kamu boleh mendiamkan aku, tapi tolong, jangan menghindar."

"Aku...butuh waktu, Gil. Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua." Gilbert menggeleng pelan. "Lalu apa, Nay ? Setelah aku memberikan kamu waktu, lalu kamu akan apa ?"

Roll the Dice On - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang