Twenty One

11.4K 755 14
                                    

Nayara tidak bisa tidur. Bukan bukan, kali ini alasannya bukanlah karena ketidakhadiran Gilbert. Kini penyebabnya adalah kata-kata yang dia dengar barusan dari sambungan telepon. Rasanya, Nayara kembali ke masa-masa dulu, remaja labil yang tengah jatuh cinta.

Sedari tadi, Nayara tidak bisa berhenti tersenyum dengan hati yang berbunga-bunga. Astaga, padahal umurnya sudah kepala tiga dan penyebab dirinya seperti ini adalah seseorang yang hampir setiap saat berada di sampingnya, tapi kenapa orang itu mampu membuatnya bereaksi seperti ini sekarang ?

Nayara tidak sabar menunggu datangnya pagi. Karena kemarin dirinya pulang sendiri membawa mobil, makanya hari ini dia akan datang ke rumah sakit untuk menjemput suaminya.

Kanaya dibuat terkejut dengan kehadiran putrinya di dapur pada pagi hari. "Ini bener anak Mami yang biasanya bangun siang dan jarang banget masak ?" Kanaya mempertahankan raut bingung bercampur terkejutnya saat Nayara menatap dirinya. "Apaan sih, Mi ?! Nayara sekarang bangunnya pagi ya. Dan lumayan sering tuh bantuin Mama Martha di dapur."

Senyum penuh arti muncul di wajah Kanaya. "Ulu uluu, yang udah jadi istri." Nayara mendengus mendengar ejekan ibunya. Ia memilih untuk melanjutkan kegiatan membuat sandwichnya.

"Kamu bikin banyak banget, Nay. Di rumah ini cuma ada empat orang lho." kening Kanaya mengerut saat memperhatikan banyaknya bahan-bahan yang berada di meja dapur.

"Aku mau ke rumah sakit, Mi, jemput Gilbert. Jadi sekalian ini buat Tante Ara sama Debby." Kanaya mengangguk mengerti. Ia lalu beralih membuka kulkas dan menuangkan jus jambu yang kemarin dibuatnya ke dalam gelas. "Ara gimana kabarnya ? Sudah baikan ?"

"Sudah, Mi. Tinggal pemulihan pasca operasi aja. Kayaknya kalau sudah sehat, besok atau lusa sudah boleh pulang."

"Syukurlah kalau sudah baikan. Mami titip salam ya buat Ara."

"Siap, Mi."

----------

Mobil Nayara sudah terparkir manis di lapangan parkir rumah sakit Medical Center. Wanita itu turun dari mobil dan mengambil tas yang berisikan barang bawaannya di kursi sebelah sebelum berjalan memasuki gedung rumah sakit.

Nayara berjalan dengan senyum riangnya. Ia beberapa kali mengangguk dan menunjukkan senyumnya saat berpapasan dengan para petugas medis. Langkah Nayara semakin memelan saat sudah sampai di lantai ruang rawat inap Tante Ara berada. Matanya menelusuri ruang tunggu lantai tersebut yang dihuni oleh beberapa orang.

Senyum kecilnya muncul saat melihat segerombolan anak kecil yang terlihat sedang bermain riang. Astaga, mereka benar-benar terlihat menggemaskan.

Nayara kembali melanjutkan perjalanannya menuju kamar Ara. Ia berbelok ke lorong yang berada di sebelah kanan. Kedua kakinya akhirnya berhenti saat sudah berada di depan pintu bernomor 216. Tanpa mengetuk pintu, Nayara menekan handle sepelan mungkin agar tidak mengganggu penghuni kamar.

Sesaat setelah Nayara melebarkan daun pintu, gerakannya terhenti sejenak. Hatinya tiba-tiba saja mencelos saat menangkap pemandangan romantis di depan sana. Gilbert yang tengah berpelukan dengan Debby. Pria yang berstatus sebagai suami Nayara itu bahkan mengelus rambut Debby dengan sayang.

Entah apa yang membuat laki-laki yang mengakui mencintai Nayara itu memeluk wanita lain. Yang jelas, pemandangan itu langsung menghapus keyakinan Nayara akan perasaan Gilbert yang baru diungkapkannya beberapa hari yang lalu.

Mencintai aku, Gilbert ? Lalu, ini apa ?

Sepertinya memang benar, jika cinta pertama itu sulit untuk dilupakan.

Nayara memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu. Ia kembali menutup pintu dengan gerakan pelan lalu menenangkan dirinya sejenak. Memantrai hati dan pikirannya untuk bersikap seperti biasa. Setelah merasa siap, Nayara kali ini mengetuk pintu kamar sebelum masuk.

Roll the Dice On - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang