Fifteen

12.2K 800 15
                                    

Kedua manik Nayara menatap kosong pada beberapa rangkaian bunga yang sudah selesai ia tata di showcase. Kalau orang lain lihat, mereka pasti akan berpikiran jika Nayara sedang mengamati hasil kerjanya - mungkin bertanya pada dirinya apakah sudah puas atau belum dengan karya yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Tapi pada kenyataannya, yang ada di dalam pikiran wanita itu sama sekali tidak berhubungan dengan rangkaian bunga-bunga cantik yang sedang terpampang di hadapannya.

Sudah sejak dua hari lalu sejak telinga Nayara mendengar ucapan sederhana namun begitu mengusik relung hatinya itu. Namun, otaknya masih saja terus mengulang-ulang kalimat Gilbert seperti kaset rusak.

Hanya kamu, sedari dulu sampai sekarang.

Dari dulu ? Demi kerang ajaib, memangnya dulu status dirinya dan Gilbert apa ? Mereka berdua hanya sekedar sahabat. Tentu saja kalau Gilbert memiliki kekasih sudah seharusnya pria itu lebih mementingkan dan memperhatikan pasangannya. Bukan dirinya yang notabene hanya berstatus sebagai sahabat.

Kalau sekarang, memang sudah sewajarnya Gilbert melakukannya. Pria itu memang sudah seharusnya hanya memikirkan dirinya yang berstatus sebagai istri. Nayara akan menyiksa Gilbert dengan sepenuh hati kalau sampai dia mementingkan wanita lain sekarang.

Nayara menundukkan kepala sambil berdecak. Sekarang ia sedang begitu kesal dengan dirinya. Bagaimana bisa hanya mendengar kalimat itu dari seorang Gilbert, dirinya jadi baper begini ? Padahal, dulu dengan mantan terindahnya saja, dia tidak sampai seperti ini. Ada apa sebenarnya ?

"Ayo, pulang."

Tubuh Nayara berjengat saat dirinya merasakan sebuah sentuhan di kedua sisi lengannya. Ia mendongak dan jantungnya secara otomatis berdetak dua kali lebih cepat saat menatap bayangan Gilbert di kaca showcase.

"Kata Vania, dua hari ini kerjaan kamu bengong mulu. Mikirin apa sih, istri aku ini ?" secara otomatis, kedua bola mata Nayara memutar malas. "Nggak usah sok romantis deh, Gil. Geli tahu nggak."

Senyum geli milik Gilbert berubah menjadi kekehan. Pria itu lalu merubah pegangannya menjadi pelukan erat. "Status kamu itu sekarang sudah jadi dua, Nay. Selain jadi sahabat, kamu juga jadi istri aku sekarang. Jadi, nggakpapa kan kalau aku romantisin istri sendiri ?"

Nayara tahu jika kalimat Gilbert barusan hanya candaan. Namun tetap saja, dirinya tidak bisa mengendalikan getaran hebat di dada kirinya.

Lemah banget sih, jantung gue.

"Yang pengantin baru, lengket banget sih." godaan yang berasal dari mulut Tasya membuat Nayara melepaskan dirinya dengan cepat dari pelukan Gilbert. Ia membalikkan tubuh dan dengan riang menyambut kehadiran sahabatnya. "Pesenan gue udah dateng ya ?"

Tasya mendengus malas. Ia kemudian mengulurkan kantung plastik berisikan brownies pesanan Nayara. "Ini ceritanya gue mau dapet ponakan apa gimana ? Minta aneh-aneh aja." Tasya lalu mengalihkan pandangannya pada Gilbert dan berkata, "Gil, seharusnya sebagai suami siaga, lo dong yang beliin ngidamannya istri lo. Bukannya gue."

Gilbert menaikkan sebelah alisnya dan menolehkan kepalanya ke arah Nayara. "Kamu nggak bilang kalo pengen brownies. Aku tadi bisa lho, mampir ke toko roti favorit kamu."

Nayara yang sudah kegirangan mendapatkan apa yang ia mau, sama sekali tidak menggubris Gilbert. Ia lebih memilih untuk duduk di kursi yang tersedia dan membuka bungkusan browniesnya.

"Istri lo kayaknya beneran isi, Gil. Lihat deh, dia kayak anak kecil gitu. Dapet brownies aja seneng banget kayak dapet istana." celutuk Tasya yang kini tengah memperhatikan Nayara. Gilbert yang masih berdiri di samping Tasya diam-diam mengangguk setuju.

Roll the Dice On - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang