🎃SEMBILAN🎃

96 8 0
                                    

   Aku berjalan menyusuri setiap koridor dengan kotak bekal yang beriisi sandwic yang akan aku berikan untuk Langit.

Aku kembali memandang kotak bekal berwarna biru itu. Hampir setiap hari aku membawakan Langit bekal. Tapi tak ada satupun yang cowok itu terima. Tapi bukan senja namanya kalau akan menyerah begitu saja.

“Langit nih bekal untuk kam----” ucapanku terhenti bersamaan dengan kotak bekal yang kubawa terjatuh hingga isinya tercecer dilantai.

Aku meremas tanganku. kesal,marah,kecewa, ketika kulihat pemandangan yang sama sekali tak ingin kulihat. Didalam kelas, aku melihat Langit sedang berpelukan dengan Azra. Iya Azra, cewek yang belakangan ini selalu menguntit kemanapun Langit pergi.

Aku melangkah mendekati Azra. Tanpa basa-basi, aku menarik rambutnya hingga ia tersentak kebelakang. Bodo amat dengan aku yang akan masuk kantor Bk. Yang jelas, sekarang aku sangat ingin mencabik-cabik wajah sok polos Azra yang sangat menyebalkan.

“Gak tau diri banget lo jadi cewek. Sekarang mau ngelak apa lagi lo, hah? Lo emang sengaja kan, caper sama langit!” ucapku terus menyerangnya.

“Kak ini gak seperti apa yang kakak banyangkan. Aku sama kak Langit gak ada apa-apa!” ucapnya. Membuatku semakin muak melihat wajahnya.

“Masih ngelak lo ya. Jelas-jelas gue lihat lo pelukan sama Langit. Apa itu yang dimaksud dengan gak ada apa-apa?!”

“Tap---”

“Senja! Lepasin Azra!” seru Langit. Memotong ucapan Azra.

“Gak! Aku gak mau. Cewek gatel kayak dia ini emang pantes diginiin!” seruku.

“SENJA STOP!”

Aku menutup mulutku tak percaya. Selama ini Langit tak pernah membentakku, meskipun aku selalu menganggunya dan membuatnya kesal. Tapi hari ini, detik ini, Langit membentakku dan itu semua karna cewek bernama Azra.

“Langit, kamu bentak aku?!” pertanyaan bodoh itu keluar begitu saja dari mulutku. Sumpah demi apapun, aku tak menyangka akan dibentak sama Langit. Apalagi itu karna Azra.

“Lo apa-apaan sih. Ngapain lo jambak rambutnya Azra? Emang dia salah apa sama lo?” Bentak langit.

“Itu karna dia udah berani deketin kamu!”

“Terus apa masalahnya kalau dia deket sama gue? Toh gue gak ngerasa dia nyusahin gue!”

“Ya karna gue gak suka dia deketin lo. Lo itu cuma punya gue! Punya, senja caremely!”

“Ck, harus berapa kali gue bilang. Jangan anggep gue itu sebagai hak milik lo.”

“Gue gak bisa. Karna gue tetep anggep lo itu punya gue!”

“Emang dasar gak waras lo! Lo tau, bagi gue, lo itu gak lebih dari sampah masyarakat yang bisanya cuma buat hidup gue susah. Jadi, gue minta lo jauhin gue!”

Bagai disambar petir disiang bolong. Rasanya hatiku sudah hancur saat itu juga. Aku tak menyangka ucapan pedas itu keluar dari mulut Langit. Sakit! Itu yang aku rasakan saat ini. Lebih sakit lagi ketika aku melihat Langit dengan santainya pergi meninggalkanku dengan mengenggam erat tangan Azra tepat didepan mataku.

“Langit....” teriakku memanggilnya. Berharap Langit akan kembali dan menarik kembali kata-katanya barusan. Tapi ternyata aku salah. Langit bahkan tak memperdulikanku. Dia terus berjalan, membawa Azra untuk tetap disampingnya.

Apa mencintaimu harus sesakit ini, lang!

                                  ***

   Aku berjalan memasukki halaman rumahku. Setelah kejadian tadi disekolah. Aku langsung memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku butuh waktu untuk berfikir. Aku belum siap untuk bertatap muka dengan Langit, apalagi ketika melihat langit bersama Azra. Karna itu adalah hal yang paling menyakitkan yang pernah aku rasakan.

“Senja! Ngapain lo pulang? Lo bolos? Kenapa lo bolos? Heh, jawab!” cerca Andrew ketika melihatku berada dirumah disaat jam masih menunjukkan waktu sekolah.

Seharusnya aku juga berhak untuk bertanya, kenapa Andrew ada dirumah. Padahal ini masih jam sekolah. Apa cowok itu membolos lagi?

“Nanti aja ya, gue ceritain. Sekarang, gue mau ke kamar dulu!” pamitku. Baru saja aku melangkah, tetapi Andrew kembali menahanku.

“Apa lagi?” tanyaku malas-malasan.

“Jawab dulu! Kenapa lo pulang? Lo bolos? Tapi kenapa lo bolos?” desak Andrew.

Aku mengusap air mataku yang tiba-tiba lolos dari pelupuk mataku. Aku tak boleh menangis, setidaknya tidak didepan Andrew.

“Senja! Kenapa lo nangis?” tanya Andrew yang melihat air mataku tadi.

Aku menggeleng pelan. “Gue gak nangis!” kilahku.

“Bohong! Tatap gue! senja, tatap gue!” tutur Andrew memaksaku untuk menatap tepat di manik matanya.

“Kenapa lo nangis?” tanya Andrew melunak.

“Hiks hiks hiks” aku menerjang, memeluk tubuh Andrew erat.

“Lang.....langit jahat sama gue,”

Kurasakan tubuh Andrew seketika menegang ketika aku menyebut nama Langit.

Andrew memcekram tubuhku kuat, dan menatapku tajam. “Langit? Langit siapa maksut lo?” tanya Andrew. Dengan tatapan tajamnya yang menghunusku.

Dalam hati, aku memaki diriku sendiri yang bisa-bisanya kelepasan tentang Langit didepan Andrew.

“Senja jawab! Langit siapa maksut lo?” desak Andrew.

Aku menggigit bibirku. Kalau panik seperti ini entah mengapa aku rasa otakku tak mau diajak kompromi. Aku terus memitar otak, encoba mencari alasan yang logis.

“Kenapa lo diem? Jangan bilang Langit yang lo maksut itu, Langit Aldebaran. Ketua geng Alaska?!” tebak Andrew tepat sasaran.

Aku mengigit bibirku panik. Apa yang sekarang harus aku lakukan?

“Lo diem gue anggap bener!” ucap Andrew sinis.

Aku bungkam. Lidahku kelu meskilun harus berbicara barang satu katapun. Rasanya aku tak sanggup. Tak sanggup membayangkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya setelah Andrew mengetahui perihal Langit. Belum lagi Andrew mengetahui semua itu disaat aku sedang menangis karna Langit. Pasti Andrew langsung dapat menebak penyebab aku menangis.

“Lo diam, berarti bener. Kurang ajar tuh, si Langit!” seru Andrew dengan wajah datarnya.

“Apa lo nangis juga gegara dia?” tanya Andrew.

Aku menggeleng, ”Gak! Gue gak nangis!” kilahku.

“Sial, beraninya dia bikin adek gue nangis!” gumam Andrew. Kemudian berlalu pergi.

Maaf typo bertebaran dimana-mana.
Semoga suka. Happy reading😸

Langit Senja (Complite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang