🎃DUAPULUH🎃

94 5 0
                                    

  Aku berjalan gontai menuju ruang kelasku. Rasanya aku sungguh tidak mempunyai semangat sedikit pun untuk bersekolah. Tetapi karna tidak mau membuat satu rumah khawatir melihat kondisiku yang jauh dari kata baik-baik saja. Aku terpaksa menginjakkan kaki disekolah meskipun dengan mata sembab akibat menangis semalaman.

Aku melengos, melewati Langit dan Azra yang tidak sengaja berpapasan denganku di koridor. Aku lihat, kedua sejoli itu semakin lengket saja bagai perangko dengan kertas. Sungguh memuakkan. Langit tidak tau saja kalau sebenarnya cewek bernama Azra itu adalah serigala berbulu domba sekaligus ular berbisa. Bagaimana tidak, dia bahkan menutupi semua kebusukannya dengan wajah polosnya itu. Mengesalkan! Lebih mengesalkan lagi saat aku harus menjauhi Langit gara-gara perempuan ular itu.

     “Astaga Senja....,kenapa lo?”tanya Nayla heboh. Ketika melihatku masuk dengan mata sembab.

“Gue gakpapa!” ucapku singkat. Beranjak duduk dibangkuku, kemudian menengelamkan wajahku disela-sela kedua tanganmu yang terlipat diatas meja.

                                 ***

   Aku menopang daguku. Bosan menunggu Nayla yang memesan makanan di salah satu stan kantin,yang sedari tadi belum juga menampakkan batang hidungnya.

“Senja....makanan dah dat.....”

“Awww....”pekikku. Ketika kurasakan sebuah cairan panas menguyur telapak tanganku hingga memerah. Bukan hanya itu, tetapi beberapa butir bakso berukuran jumbo pun ikut mengelinding tepat dimejaku.

Aku menoleh menatap Nayla yang saat ini sedang membulatkan matanya. Kemudian tatapanku beralih, menatap kearah seseorang yang sangat aku benci, saat ini sedang berdiri mematung disamping Nayla.

“Heh? Lo, punya mata gak sih?! Liat, Senja jadi ketumpahan kuah bakso, kan!” Bentak Nayla.

Aku terus menatap Azra tajam. Aku tau, cewek itu memang sengaja menabrak Nayla yang mau memberikan bakso itu padaku, hingga berimbas padaku yang tersiram kuah bakso yang panas.

Plakkk

“Mau lo, apa sih sebenarnya? Lo mau Langit? Ambil! Gue gak butuh dia. Tapi ingat, jangan pernah lo, cari gara-gara sama gue!” ucapku. Menatap Azra yang sekarang sedang memegangi pipinya yang merah akibat tamparanku barusan.

“Aku gak sengaja. Kenapa kakak langsung tampar aku?!”

“Ck, lo bisa tipu langit dengan muka polos, lo itu. Tapi tidak dengan gue! Karna gue, udah tau semua busuknya elo!”

“Emang dasar ya, gak tau diri banget. Kalau emang gak suka itu bilang. Jangan main tikus-tikusan dengan ngejadiin orang lain itu sebagai senjata, buat bales dendam ke musuh. PENGECUT!” seloroh Nayla. Membuat Azra semakin terpojok.

Baru saja aku hendak mencerca Azra dengan kata-kata pedasku. Tapi suara Langit lebih dulu terdengar ditelingaku. Membuatku terpaksa mengurungkan niatku untuk menyerang Azra dengan kalimat pedas.

“Astaga Azra..., kenapa pipi lo, merah kek gitu?!” tanya Langit penuh perhatian. Membuatku ingin cepat-cepat berlalu pergi. Tapi aku tidak akan melakukan itu semua. Karna kalau sampai aku pergi hanya karna melihat perhatian Langit kepada Azra. Itu sama saja aku sudah membiarkan Azra tersenyum menang.

“Aku gakpapa, kak!” jawab Azra. Membuatku mendadak ingin muntah mendengarnya. Kulihat Nayla, sahabatku itu memutar bola matanya jengah. Jangankan Nayla, aku saja sudah sangat jengah menatap wajah perempuan ular macam Azra.

“Senja! Lo gak pantes nampar Azra, kek gitu!” tegur Langit. Menatapku tajam. Aneh, biasanya aku akan merasa sangat takut jika Langit sudah menatapku setajam itu. Tapi sekarang semua berubah. Aku sama sekali tidak merasa gugup ataupun takut menatap mata tajam itu. Mungkin ini semua akibat kekesalanku terhadap Langit yang jelas-jelas membela Azra yang terbukti salah daripada aku.

Aku membalas tatapan Langit tak kalah tajam. “Kenapa? Kenapa gue gak berhak nampar cewek ular ini. Sedangkan lo, bersikap seenaknya ke gue?!”

“Itu karna gue Ketua geng Alaska! Gue berhak ngatur kalian semua yang sekolah disini! Termaksut elo!”

“Jadi karna lo, ketua Alaska, lo bisa seenaknya ke gue. Langit...langit..., jangan lupain satu fakta bahwa gue itu adiknya Andrew Sebastian. Ketua geng maximus, musuh bebuyutan lo. Sebagai adiknya seorang ketua geng. Gue pantang yang namanya diatur. Jadi, gue putusin buat angkat kaki dark sekolah ini, ketimbang gue terus muak ngeliat muka ketua geng alaska yang bodoh macam lo!” ucapku. Kemudian berlalu pergi, meninggalkan semua manusia dikantin yang sedang melonggo mendengar pengakuanku barusan.

Ini sudah saatnya aku pergi. Mundur melepaskan semua harapanku pada Langit yang tak mungkin pernah menjadi nyata. Itu hanya sebuah harapan. Harapan yang tak kuketahui akan benar-benar bisa kuraih atau berakhir menjadi sebuah khayalan semu yang tak mungkin bisa terwujud. Ini saatnya aku melepaskan. Melepaskan semua rasa cintaku agar terbawa angin lepas. Aku sudah cukup bersabar demi mencapai dititik ini. Sampai akhirnya aku sadar kalau semua pengorbanan serta kesabaranku itu hanya berujung pada luka. Luka yang tak kuketahuk kapan akan sembuhnya. Tapi aku berharap, suatu hari nanti luka itu akan sembuh dan aku bisa kembali menikmati indahnya dunia tanpa bayang-bayang kesedihan dimasa lalu. Ya! Aku percaya hari itu akan ada. Hanya saja, aku tak tau kapan hari itu akan tiba.

Tbc.

Maaf typo bertebaran dimana-mana. Maaf juga kalau ceritanya gaje atau gak nyambung sama sekali. Maklum, saya cuma penulis amatir yang berharal bisa buat novel sebagus dan sekeren novel karangan penulis
terkenal.

Langit Senja (Complite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang