🎃DUABELAS🎃

95 6 0
                                    

“Senja, biar gue anter lo pulang ya!” ucap Nayla entah untuk yang keberapa kalinya membujukku untuk menerima tawarannya.

“Ayolah nja. Gue khawatir dengan keadaan lo saat ini!” ucap Nayla terus membujuk.

Aku tau sahabatku sedang khawatir dengan keadaanku yang jauh dari kata baik. Baju berantakan, mata sembab karna selama pelajaran aku terus menangis. Nayla sudah mengetahui semuanya karna aku memang menceritakan kejadian tadi kepadany. makanya Nayla sangat khawatir denganku.

Aku menggeleng. Bukannya aku menolak niat baik Nayla yang ingin mengantarku pulang kerumah. Tapi jujur, saat ini aku butuh waktu sendiri untuk menenagkan hatiku yang saat ini sedang hancur berkeping-keping.

“Gue bisa pulang sendiri, Nay! Lo tenang aja, gue cukup waras untuk gak bunuh diri cuma karna Langit nolak gue!” ucapku berusaha meyakinkan Nayla.

“Tap--”

“Syutttt...., gue janji akan sampai rumah dengan keadaan baik-baik aja!” ucapku menyela ucapan Nayla.

Nayla tampak berfikir sebentar. Kemudian mengangguk pasrah. “Yaudah kalau gitu gue duluan ya! Ingat, jangan buat yang macem-macem!” tutur Nayla yang kubalas dengan anggukan.

Setelah kulihat mobil Nayla berlalu pergi. Barulah aku melangkah menyusuri terotoar dengan berjalan kaki. Tentunya dengan menghubungi Andrew untuk tidak menjemputku dengan berbohong aku akan pergi bersama Nayla.

Aku menonaktifkan ponselku. Kemudian terus berjalan tanpa arah tujuan. Yang kubutuhkan saat ini adalah ketenangan. Dan aku meyakini kesepian dan kesendirian akan membantuku untuk melupakan rasa sakit yang terus hingap dihatiku.

                                  ***

Awan yang hitam pekat serta suara petir yang saling bersautan tak menghentikan langkahku untuk menuju ke tempat yang kuinginkan. Yaitu Bukit, tempat favoritku sedari kecil.

Setelah beberapa jam berjalan kaki menuju bukit. Akhirnya aku sampai juga dibukit, bersamaan dengan air hujan yang turun membasahiku.

Aku mendudukkan diriku diatas rumput hijau yang sudah basah diguyur hujan. Air hujan yang membasahiku, serta suasana bukit yang sepi, membuatku dengan leluasa berteriak, menangis, meluapkan segala emosi yang sedari tadi kupendam.

Aku marah,kecewa, sedih, ketika semua usahaku untuk mendekati Langit selama satu tahun harus berakhir sia-sia. Bayangkan, satu tahun lamanya aku terus berusaha untuk melumpuhkan hati Langit. Tapi semua itu sia-sia karna kedatangan Azra yang ternyata jauh lebih cepat melumpuhkan hati Langit.

Aku terus menangis dengan air hujan yang menyamarkan air mataku. Sangking terlalu sibuknya aku menangis, aku sampai tidak menyadari bahwa ada orang lain ditempat ini. Bahkan saat ini orang itu mendekat kearahku dan melindungiku dari air hujan dengan payungnya.

Aku menoleh menatap wajah orang itu. Tetapi terlambat. Mataku mengabur, kepalaku tersa berat, dan semua gelap. Aku jatuh tak sadarkan diri.

                                 ***

Aku mengerjapkan mataku perlahan. Kepalaku masih terasa berat dan nyeri. Saat pertama kali aku membuka mata. Hal yang pertama aku lihat adalah Andrew dan Rian yang sedang duduk ditepi ranjang.

“Andrew!” panggilku lirih.

Andrew mendongak, menatapku dengan wajahnya yang terlihat khawatir.

“Senja, lo gakpapa kan? Mana yang sakit? Bilang sama gue!” tanya Andrew dengan nada khawatir.

“Gue gakpapa!” ucapku berbohong. Padahal, saat ini kepalaku terasa sangat sakit sekali.

“Syukurlah kalau gitu.” ucap Andrew diikuti dengan helaan nafas dari cowok itu.

Aku beralih menatap Rian. Cowok itu sedari tadi hanya diam sembari terus menatapku lekat.

“Rian, lo dari tadi ada disini?” tanyaku hanya untuk sekedar berbasa-basi.

“Iya! Rian bahkan yang nemuin lo dibukit, dan bawa lo pulang!” Bukan Rian yang menjawab pertanyaanku. Melainkan Andrew yang menyela dan menjawabnya.

Aku memutar otakku mencoba untuk mengingat-ingat. Dan otakku seketika terputar pada kejadian sebelum aku pingsan tadi. Yaitu, ingatan pada Seorang cowok yang tiba-tiba datang dan memayungiku. Jadi, orang itu adalah Rian!

“Jadi, yang tadi mayungin gue itu elo, Yan?!” pekikku sedikit tidak menyangka.

“Hah? Eh, i..iya gue yang mayungin elo tadi!” jawab Rian.

Aku mengangguk paham. Tetapi meskipun begitu, jauh dilubuk hatiku yang terdalam ada sesuatu yang menganjal hatiku. Sesuatu yang mengatakan bahwa bukan Rian- lah yang memayungiku tadi. Entah mengapa, aku merasa orang itu adalah Langit. Tapi mana mungkin langit yang memayungi. Bahkan dia sama sekali tak perduli terhadapku. Sama sekali!

“Thank's ya, Yan. Elo emang sahabat paling baik yang gue punya!” ucapku tersenyum tulus.

Rian balas tersenyum. Kemudian mengenggam tanganku erat. “Gue akan selalu ada untuk elo, Senja!”

Langit Senja (Complite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang