Sejak pagi tadi, bibirku belum tertarik membentuk bulan sabit untuk menyapa hari ini. Menyumpalkan earphone di kedua telinga dan memejamkan mata adalah kedamaian yang kuharap tidak ada yang mengganggu.Bel istirahat sudah berbunyi beberapa waktu yang lalu, semua siswa sudah meninggalkan kelas sejak tadi untuk mengisi perutnya. Namun aku tetap tak beranjak dari tempatku sekarang, kursi didepan aula, walau beberapa dari mereka sudah mengajakku ke kantin bersama.
Kedua mataku terbuka saat aku merasakan seseorang duduk disebelahku.
"Mau?"
Seorang gadis berambut pirang sebahu itu mengulurkan sebuah permen, yang ku tolak dengan gelengan. Dia Ghia, teman sekelasku. Ralat, teman terbaikku. Wajahnya yang kecil membuatnya lebih tampak muda dari usianya sekarang.
Aku dan Ghia begitu dekat, bahkan aku yakin ia tahu saat ini aku tak ingin diganggu oleh siapapun. Namun seperti yang sudah-sudah, ia tetap keras kepala untuk menghampiriku.
"Ngapain sih disini?"
"Nggak ada." Ucapku lalu kembali memejamkan mata.
Aku memang tidak sedang melakukan apapun. Aku hanya ingin sendiri, mengapa susah sekali dilakukan?
Kulirik pergelangan tanganku, jam menunjukkan waktu istirahat akan berakhir. Aku beranjak ingin menuju kelas, namun gadis bertubuh kecil itu mengikuti langkahku.
"Ra, nanti Daru datang mau latihan sama gue. Ikut ya."
Aku berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepalaku.
Beginilah aku, tidak bisa mengatakan 'tidak' untuk sesuatu yang tidak ingin kulakukan. Hanya untuk menyenangkan hati orang lain, aku selalu mengalah.
Bukannya tidak ingin menemani Ghia hari ini, namun aku hanya tidak ingin bertemu Daru.
Ah ya, Daru itu temanku. Teman yang kuajak melangkah menelusuri jalan kehidupan. Enam tahun mengenalnya, aku sudah tahu sedikit banyak tentangnya. Ya, aku tahu sebab waktu yang memberi tahuku tentangnya, bukan ia sendiri.
Namun untuk hari ini, aku ingin waktu berhenti sejenak untuk tidak mencoba mempertemukanku dengannya. Aku tidak mau, ketika Daru melihat mataku nanti, akan ia temukan sendu yang tengah berteman denganku belakangan ini.
___
Minggu lalu, tepat saat ia mengantarkanku pulang dari bimbel, ia mengaku satu hal yang menghadirkan rasa takutku.
"Ra?" Ia memanggil saat aku hendak masuk kedalam rumah.
"Ya?"
Dari wajahnya kutemukan gurat keraguan untuk menyampaikan sesuatu yang ingin ia sampaikan. Aku menggenggam tangannya,
"Kenapa? Amankan?"
"Alia balik, nelpon aku kemarin."
Aku diam tak bergeming. Dalam matanya aku mencari sesuatu, yang kudapat adalah tatapan yang paling aku benci. Perlahan aku tersenyum, menggenggam sedikit erat jemarinya.
"Ingat, langsung pulang. Nanti kalau udah sampai, kabari aku."
Sejak hari itu, aku menghindarinya, walaupun Daru masih sering mengirimkanku pesan-pesan kecil yang membuatku seperti budak cinta. Hanya saja egoku terlalu tinggi untuk membalas pesan-pesannya. Mana tahu, setelah aku diamkan ia akan mengerti bahwa aku tidak suka dengan kabar yang ia sampaikan malam itu.
Ghia juga sering mengingatkanku tentang Daru, jika aku ragu padanya, katakan. Suatu hubungan tidak akan menemukan bahagia jika keduanya saling diam terhadap perasaannya masing-masing.
___
"Pasti mikir Daru."
Suara Ghia menyadarkanku. Aku ingin bercerita padanya, namun kupikir ini bukanlah waktu yang tepat, apalagi Daru dan Ghia akan mengikuti perlombaan, tidak mungkin 'kan Ghia akan menceramahi Daru disaat seperti ini?
"Gak usah sok tahu."
Ia mengedikkan bahunya, berjalan mendahuluiku. Daru tak pernah kupikirkan, karena ia sudah menetap disana.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
ragu
Teen FictionDia pernah patah. Perpisahan dengan sang mantan meninggalkan luka pada dirinya. Luka pertama yang pernah ia rasakan ketika mengenal kata jatuh hati. *** Aku adalah penawar, katanya. Enam tahun berteman, aku adalah orang yang selalu hadir saat tawa m...