Menjelang siang, pusat belanja seperti ini memang akan dipenuhi banyak orang, entah jalan bersama keluarga atau bersama pasangan seperti aku dan Daru lakukan sekarang. Semalam, aku memang sudah benar-benar memikirkan apa yang ingin kubeli saat sampai disini. Dan ya, pilihanku tak jauh-jauh dari novel. Bukan hanya suka menulis, aku juga suka membaca karya-karya orang lain.
"Daru, ke toko buku ya?" Aku mengapit lengan kirinya, menarik menuju toko buku.
"Novel lagi?"
Aku mengangguk sambil menjelajahi seisi toko buku. Aku lantas menarik lengan Daru menuju rak novel. Novel-novel yang tampak dimataku seperti menggoda iman untuk kuborong semuanya. Dan aku yakin, Daru pasti akan sangat bosan menungguku memilih dua atau tiga novel untuk kubeli.
"Ra, aku lagi suka baca buku-buku biografi nih." Daru berujar sambil membolak-balikkan salah satu novel yang ia ambil.
"Tumben kamu mau baca? Kamu 'kan orang paling males ngadepin tulisan-tulisan panjang gitu."
"Eh, jangan salah. Gini-gini aku pernah juara pendongeng cilik ya." Balasnya menyombongkan diri. Iya sih, dulu ia memang pernah menjuarai itu.
"Itu juga pas sd. Gak usah sombong." Aku meninggalkannya dibelakang dan menuju rak sebelahnya.
"Itu fakta Sora-ri-ra-ri."
Daru menyebalkan. Aku memukul lengannya dengan buku yang ada ditanganku dan ia mengaduh tertahan sambil melihat sekitar, takut-takut ada yang melihat mungkin.
"Kamu nyebelin banget sih! Udah dibilang jangan manggil aku gitu." Aku memasang wajah jengkelku. Sudah berkali-kali aku bilang untuk tidak menyebutku begitu dan yang selalu kudapat adalah cengiran tanpa rasa bersalahnya.
Aku melanjutkan acara memilih buku. Sedang Daru, entah apa yang dilakukannya sekarang dirak belakangku. Dua novel sudah ditanganku, lalu kudengar suara Daru kembali mengganggu gendang telinga.
"Ra, ayo dong. Aku pingin beli buku juga."
"Buku apa sih? Kamu beneran suka baca biografi?"
"Lah kagak percaya dia. Iya lah beneran, bantu cari dong." Ia mengambil novel-novel ditanganku, lalu menarik lenganku menuju rak yang tadi ia datangi.
"Kamu mah alasan, kan bisa cari sendiri yang mau kamu baca. Kalau aku yang pilih nanti kamu gak suka."
"Aku maunya kamu yang pilih. Ngitung-ngitung belajar pilihin aku barang-barang nanti kalau kita udah sah." Tukasnya sambil menaik-turunkan alis tebalnya.
"Ngawur ah, lo."
"Nggak mau memangnya?" Ia mulai senang menggodaku. Apa dia tidak tahu, ya? Seperti ada jutaan kupu-kupu menggelitik perutku saat ini.
"Diem, ah. Malu didengar orang." Ucapku melirik kanan dan kiri.
Kuambil salah satu buku yang tersusun rapi disana, dari sampulnya cukup memikat hati. 'Sokola Rimba' menurutku menarik, dari sinopsis yang kubaca, aku yakin pasti ceritanya menarik. Kuberikan buku tersebut pada Daru, tanpa membaca bahkan melihat lagi, ia membawa bukunya serta kedua bukuku ke kasir.
"Nggak liat lagi? Mana tau kamu nggak suka." Usulku agar ia melihat lagi buku yang kupilih.
"Pasti bagus. Rimba itu hutan, aku juga lagi suka-sukanya sama hutan."
"Kamu banyak lagi suka-sukanya ya? Jangan-jangan juga lagi suka-sukanya sama cewek lain." Aku memicingkan mataku, mengintrogasinya. Siapa tahu tebakanku benar, walaupun jelas-jelas tidak akan.
"Fitnah itu dosa loh, Ra." Katanya sambil mengelus pelan rambutku.
"Ya siapa yang tau?"
"Nggak percaya banget sih kamu. Sedih banget aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
ragu
Teen FictionDia pernah patah. Perpisahan dengan sang mantan meninggalkan luka pada dirinya. Luka pertama yang pernah ia rasakan ketika mengenal kata jatuh hati. *** Aku adalah penawar, katanya. Enam tahun berteman, aku adalah orang yang selalu hadir saat tawa m...