13

31 2 4
                                    

Sial. Aku sudah mengompres mata dengan es batu, namun masih terlihat bengkak. Tidak ada cara lain, selain memoles sedikit bedak lebih tebal dari biasanya. Selain menangis, semalam aku juga tidak bisa tidur, alhasil kamarku seperti baru kembali. Meja rias bersih dan rapi, lemariku lebih rapi lagi, baju kususun sesuai jenisnya. Dan sekarang aku tidak yakin kalau nanti disekolah tidak akan terkantuk-kantuk.

"Soraa.."

"Wait, Ayah. Udah kok."

Semalam saat turun mengambil air minum, aku melihat Ibu baru keluar dari kamar mandi. Aku sempat bertanya mengapa dengan kamar mandi dikamarnya sampai Ibu harus masuk kamar mandi dapur. Kata Ibu tidak ada air dalam kamar mandinya. Setelahnya, aku menitip pesan pada Ayah agar mengantarku sekolah esok hari.

Maka disinilah aku sekarang, duduk manis dimobil Ayah. Kalau berangkat bareng Ayah memang sangat awal, bahkan jalanan belum terlalu penuh dengan pengendara lainnya yang berlomba-lomba cepat sampai tujuannya.

"Les disekolah masih ada?" Ayah bertanya, aku menggeleng sebelum menjawab. Disekolahku memang diadakan les tambahan bagi yang kelas tiga, persiapan UN katanya.

"Ini minggu tenang sih katanya, minggu depan UAS. Tapi, Yah, tugas prakteknya masih banyak banget. Aku bahkan gak ngerasain tuh yang katanya minggu tenang." Aku mengeluh, tapi memang benar tugas praktekku terasa tidak selesai-selesai.

"Kamunya kali yang males-malesan."

"Makanya karena males, kuliahnya disini aja ya?" Aku rasa ini waktu yang tepat untuk membujuk Ayah.

"Kenapa nggak mau diluar? Kan bagus." Kata Ayah lalu menatapku sebentar.

"Nggak mau jauh-jauh sama Ayah." Aku memeluk lengan kiri Ayah yang bebas setir.

"Ayah lagi nyetir loh, Nak." Aku tertawa lalu mengecup pipi kiri Ayah. "Asal kamu punya gambaran masa depanmu sendiri, Ayah boleh-boleh aja." Pria 43 tahun ini benar-benar penyanyang paling tulus, terbukti dari sikapnya yang tidak memaksa keinginannya terhadapku. Tuhan, terima kasih memberiku Ayah seluar biasa ini.

"Ayah kok masih ganteng aja sih?" Tanyaku menggodanya.

"Heran, padahal dulu Ibumu gak bisa gombal gini ke Ayah, anaknya kok malah genit begini." Aku tertawa, jadi penasaran kisah Ayah dan Ibu dulu. Walau sudah pernah dengar dari Ibu, aku masih ingin mendengar versi Ayahku.

"Cerita dong Ayah, aku penasaran sama masa muda Ayah Ibu. Gimana sih cerita Langit sama Dara sampai punya Sora?"

"Nggak ah, kamu udah tau juga."

"Tapi dari Ayah belum. Ayo dong, Yah." Aku masih memaksa sambil menggoyangkan lengan kirinya, selagi lampu lalu lintas masih merah.

"Dulu," Ayah menjeda kalimatnya, tapi tidak apa yang penting Ayah mau bercerita, "Pas kamu lahir, Ayah seneng banget."

"Ayahh.." Serius, cerita ini udah berjuta kali aku dengar, lebay memang, tapi beneran setiap dulu aku tidak bisa tidur atau sedang bertanya masa muda Ayah dan Ibu padanya, Ayah selalu menceritakan rasa bahagianya saat kelahiranku.

Ayah tertawa lalu mengusap kepalaku, "Kamu pusat bahagia Ayah, jangan pernah sedih, oke?"

Aku tahu maksud Ayah kali ini, pasti karena melihat samar bengkak dimataku. Sekali lagi kukecup pipi ayah, Tuhan, aku sayang sekali pria ini.

"Udah ah cium-ciumnya, sana masuk." Ayah memberhentikan mobilnya didepan gerbang sekolahku, tidak masalah karena sekolah masih sepi jadi tidak menghalangi siapapun.

"Sora sayang Ayah, selamat ulang tahun." Ucapku lalu menerima kecupan dikepalaku.

"Terima kasih, sayang kamu, more." Aku tertawa, bahagia saja dikatakan sayang seperti ini.

raguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang