Ghia tiduran diatas kasurku, masih menggunakan seragam sekolah. Aku berjalan kearah lemari, mencari pakaian yang bisa dipakai Ghia, untungnya ukuranku dengannya tidak beda jauh. Aku mengambil dua baju dengan bahan yang sama untuk kami pakai.
Yang berlengan pendek untukku dan lengan panjang untuk Ghia. Aku meletakkan milik Ghia diujung kasurku, lalu berlalu ke kamar mandi untuk mengganti bajuku.
"Ghi, lo mandi gih. Jijik gue lo tiduran masih bau gitu." Setelah berganti baju, Ghia masih belum bangun dari aksi tidurannya
"Ya Tuhan, lambe lo."
"Bangun ih." Aku masih memaksanya hingga ia bangun dengan muka merengutnya dan mengambil baju yang kusiapkan tadi, lalu masuk ke kamar mandi.
Ghia menyisir rambutnya setelah berganti pakaiannya, ia menatap rak bukuku yang semalam sudah kurapikan. Menaruh sisir pada tempatnya, ia beranjak lalu mengambil satu novel yang terakhir baru kubeli bersama Daru waktu itu.
"Tau aja lo mana yang baru."
"Tapi gue lagi gak pingin baca ini, gue mau denger cerita lo aja." Katanya sambil meletakkan kembali novelku.
"Males banget gue bahasnya."
"Kenapa sih?" Ya ampun, Ghia.. Sudah kukatakan malas membahas masalah Daru, ia malah bertanya kenapa.
"Males, ah."
"Apasih? Gak seru lo sekarang." Rajuknya.
Aku berdecak, menatapnya malas sekaligus kesal. Ghia menghampiriku yang tengah duduk dikasur, lalu ia ikut duduk didepanku, menopang dagunya seolah serius ingin menyimak ceritaku.
"Ck, sebenarnya gue ngundang dia juga makan malam nanti, tapi dia gak bisa dateng." Aku mulai bercerita. Ya sudahlah, Ghia selalu jadi teman curhatku sejak dulu kala, jadi terus terang saja padanya.
"Masa gara-gara itu lo sampe nangis? Lebay lo kalau gitu."
"Bete banget gue sama lo, bukan itu masalahnya, lo tau gak sih?" Cerocosku.
"Eh, santuy, Bu. Pelan-pelan, gue dengerin."
"Dia nemenin mantannya dari kemarin. Terus lo tau gak pas gue bilang kalau mantannya itu udah bukan siapa-siapa, dia jawab apa?" Kedua alis Ghia naik, lalu ia menggeleng. "Bukan siapa-siapa yang gue sebut pernah jadi seseorang buat dia. Haaaa.... Ghiaa.... gue sakit hati, goblok." Aku menelungkupkan badanku, masih sambil duduk.
"Terus, Ra? Lo apain abis itu? Lo tampol? Gebuk? Atau lo putusin?" Kalimat terakhir Ghia membuatku mendongak, masa putus?
"Gue dramatis, gue marahin, gue bilang makasih udah jadiin gue pelariannya. Astaga, Ghi, gue masih sakit hati." Kembali kutenggelamkan wajahku.
"Ra, jangan nangis dong. Gue bingung mau gimana? Siapa sih mantannya, kok gak tau diri? Daru juga, bodoh banget mau ketemu mantan lagi." Ujarnya mengelus rambutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
ragu
Teen FictionDia pernah patah. Perpisahan dengan sang mantan meninggalkan luka pada dirinya. Luka pertama yang pernah ia rasakan ketika mengenal kata jatuh hati. *** Aku adalah penawar, katanya. Enam tahun berteman, aku adalah orang yang selalu hadir saat tawa m...