"Apa?" Semangat empat lima aku membuka mata, menghadap Kak Tsabi.
"Disuruh kasih makan, biar gak sakit lagi."
"Tau darimana?"
"Dia chat gue."
"Bukan, dia tau darimana gue sakit?" Kak Tsabi menoleh padaku, lalu mengunyah lagi pia mangkoknya. Ia mengendikkan bahu acuh, "Gue bukan cenayang." Katanya.
"Kemarin gue pingsan Kak, maag gue kambuh."
"Perhatian banget ya adek gue, lagi marahan aja masih suruh makan. Gue kapan coba?" ucapnya dengan wajah yang dibuat sedih.
___
Aku terbangun karena mendengar suara barang yang terjatuh, kulihat jam menunjukkan pukul delapan malam. Buru-buru aku bangun dari tempat tidur Kak Tsabi, lalu melihat Kak Tsabi yang tengah merapikan meja riasnya.
"Sorry Ra, hairdryer gue jatoh, patah malah ini." Kak Tsabi meringis.
"Kok gak bangunin gue, Kak? Sampe malem gini, Ayah marah nih pasti gue belum pulang." Ujarku mencari ponsel dan menelpon Ayah untuk meminta jemput. Sebenarnya bisa saja aku menginap di rumah nenekku, tapi besok masih harus sekolah dan aku tidak membawa seragamku.
"Daru udah ngomong sama Om Langit kok, nanti dianter."
Panggilan ditolak, dan aku menghembuskan napas kesal. Harus bertemu Daru lagi, walaupun kangen, aku kan masih marah padanya. Gengsi banget.
"Turun dulu, yuk, mama udah masak."
Aku beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci muka, lalu menyisir rambutku. Tidak lupa memakai lipbalm milik Kak Tsabi. Setelah merapikan diri, aku menyusul Kak Tsabi yang sudah duluan turun ke meja makan. Disana sudah ada orang tua Daru dan Kak Tsabi yang tengah menuangkan air.
Aku tersenyum pada kedua orang tua Daru, "Maaf ya Tante, tadi Sora ketiduran."
"Gak apa-apa kok, nginep sekalian ya? Biar Tsabi ada temennya." Ujar Tante Ami, mama Daru. Tante Ami meletakkan piring didepanku dan kuucapkan terima kasih.
"Sora harus sekolah besok, Tante."
"Ah, Tante lupa kamu masih sekolah." Ujarnya lalu tertawa.
"Tua ya Ma, mukanya?" Kak Tsabi memulai perang.
Aku mendelik padanya, "Tapi ada yang punya, gak jomblo." Balasku. Kedua orang tua Daru tertawa melihat kami, sudah lama tidak merasakan kedekatan bersama mereka seperti ini.
"Siapa yang punya?"
Suara berat dan aroma mint menyapa hidung dan telingaku, Daru duduk disebelahku lalu menuangkan nasi diatas piringku.
"Ah males gue, bucin anak muda." Kak Tsabi bergumam, namun bisa didengar semua orang disini.
"Sirik kan? Cari pacar dong." Balasku.
"Udah-udah, makan dulu." Lerai Tante Ami.
Aku melihat piringku sudah diisi dendeng sambal dan udang goreng tepung. Sedangkan milik Daru berisi lebih banyak sayur.
"Ikannya mau?" Tanya Daru mengangkat satu ikan goreng. Aku menggeleng, udang goreng dan dendeng saja aku sudah cukup. Beginilah porsi makanku, seperti anak kecil.
"Dikit banget makannya, Ra?" Om Fajar bersuara.
"Sora memang gini, Om." Ucapku kalem, bukan apa sih tapi papa Daru memang sedikit bicara jadi aku sedikit segan untuk bicara panjang.
Makan malam ini lebih banyak hening, sesekali Kak Tsabi bertanya lalu bercerita tentangnya selama di Malang. Lihat kan kakak satu itu memang tidak bisa diam.
"Gak apa nih piringnya kamu cuci?" Aku lantas menggeleng saat mendengar suara Tante Ami yang terdengar sedikit tidak enak.
"Ini memang tugasku dirumah, Tan. Lagian ada Kak Tsabi juga kok."
"Mama mending duduk aja deh, biarkan para gadis yang bekerja." Kak Tsabi tertawa kecil.
Setelah menyelesaikan urusan air dan sabun itu, aku mengelap tangan dengan serbet yang tergantung didinding sebelahku. "Udah selesai?" Daru tiba-tiba berdiri dibelakangku untuk mengambil gelas dan mengisinya dengan air dingin.
"Udah." Balasku sekenanya.
"Mau balik?"
Aku mengangguk, memang ingin pulang dari tadi tapi kelanjur ikut makan malam dulu sama keluarganya.
Setelah berpamitan pada keluarga Daru, aku ikut masuk kedalam mobil bersama Daru. Tidak ada yang memulai pembicaraan, hanya suara radio yang terputar.
"Operasi Alia kemarin lancar, mau jenguk?" Daru berucap. Tolong dong, tidak perlu membahas Alia disetiap pertemuan kita. Sebenarnya dia paham tidak sih perasaanku saat ini? Apa tidak ada pembahasan yang lain?
"Lagi sibuk, banyak tugas bareng Arki." Terpaksa kubawa nama Arki untuk menyenggol emosinya, kuharap Arki memaafkanku.
"Katanya sebel banget sama Arki, kok bisa nugas bareng?"
"Gak tau, takdir mungkin." Jawabku acuh.
"Sensi banget? Padahal udah makan." Gumamnya.
Cemburu dong Daru, masa tidak cemburu sih? Aku kan ingin mengetesnya. Tapi sepertinya sia-sia, karena melihat tidak ada tanda-tanda api akan muncul. Aku menghela napas gusar, kesal sendiri jadinya.
"Kamu peduli banget sih sama Alia?" Aku mengutuk mulutku sendiri, baru saja bilang tidak mau membahas Alia, tapi sekarang malah mulutku sendiri yang memancing.
"Bantu orang sakit kan nggak ada salahnya, Ra."
"Aku juga sakit, tapi jangankan kamu jenguk, tau pun enggak."
"Jangan telat makan lagi." Aku menoleh, tatapannya fokus pada jalanan didepan.
Lalu hening lagi. Hingga mobilnya memasuki perkarangan rumahku.
"Besok Ayah ulang tahun, Ibu ngundang makan malam." Ujarku menyampaikan amanah Ibu sebelum turun.
Aku menatapnya setelah beberapa detik tidak mendengar balasannya.
"Kenapa? Nggak bisa ikutan?" Aku kembali bersuara.
"Maaf." Apalagi sekarang? Aku mulai merasakan kembali rasanya disampingkan, karena Alia lagi.
Mungkin tiga tahun yang lalu, aku tidak mengerti perasaan sakit ini ketika sahabatku, Daru terlalu sering bersama pujaan hatinya. Yang biasanya sering menemaniku menggambar ditaman belakang sambil bermain gitar, semenjak bersama Alia ia bahkan jarang berkunjung kerumah. Tapi untuk sekarang? Apa aku anak kecil yang masih tidak mengerti perasaan ini? Tidak. Aku bukan anank kecil lagi, dan aku jelas merasakan sakitnya.
"Alia bukan siapa-siapa, Daru! Kenapa dia selalu istimewa?" suaraku keras, juga bergetar tapi aku tidak peduli.
"Yang kamu sebut bukan siapa-siapa, pernah jadi seseorang untukku." Ucapnya dengan suara kecil, bahkan tertahan.
Seperti apa aku harus menjelaskan perasaanku sekarang? Aku tidak akan menangis, tapi mataku mulai berair. Siapa Alia, lalu siapa diriku? Sebuah pelarian saat dia ditinggalkan dulu. Jelas begitu.
"Seseorang eh? Masih istimewa? Masih yang tersayang? Nggak ngucapin makasih ke gue karena bersedia menghibur dan jadi tempat pelarian lo?" Aku tersenyum kecut, namun masih tidak membuatnya menatapku.
"Ra.." panggilnya. Aku mengacuhkan.
Kubuka pintu dan turun dari mobilnya, tanpa mengucapkan terima kasih, tanpa ada usapannya dirambutku, tanpa kata maafnya karena telah menyakiti hatiku.
Aku langsung masuk ke kamarku setelah mengecup pipi Ayah dan Ibu yang tengah menonton televisi tadi, memeluk boneka beruang yang diberikan Daru dulu, saat perkenalan kami. Menenggelamkan wajahku kedalam boneka ini, menahan air mata agar tidak tumpah.
Jangan menangis,
Jangan menangis, Sora.
Pertama kalinya, semesta, aku tidak suka lelucon ini. Aku tidak akan tertawa jika kau mengatakan ini bercanda.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
ragu
Teen FictionDia pernah patah. Perpisahan dengan sang mantan meninggalkan luka pada dirinya. Luka pertama yang pernah ia rasakan ketika mengenal kata jatuh hati. *** Aku adalah penawar, katanya. Enam tahun berteman, aku adalah orang yang selalu hadir saat tawa m...