Ayah sudah menungguku didepan cafe, aku sengaja meminta ayah menjemput sesuai janji ayah tadi sebelum aku berangkat dari rumah. Sebenarnya, ayah tidak mengizinkanku keluar malam hari, termasuk jika itu bersama Daru. Ah, kupikir ayah tidak pernah mengekangku, namun hal ini juga salah satu yang disebut kekangan.
Beberapa kali kucoba untuk merayunya, mengingat ini adalah tampil perdananya Daru, hingga pada akhirnya kami membuat kesepakatan yaitu, aku diizinkan keluar hanya sampai pukul sepuluh malam dan ayah yang harus mengantar juga menjemputku. Bukan hal yang rumit untuk disetujui, malah sedikit menguntungkan. Aku tidak harus mengeluarkan uang untuk memesan ojek online dan tentu saja aku aman dari bayang-bayang yang sering muncul dikepalaku, seperti penculikan, pemerkosaan, dan saudara kriminal lainnya.
Daru belum selesai dengan pekerjaannya dan aku hanya bisa pamit dengan mengirimnya pesan. Aku lantas keluar dari cafe tanpa melihat dibelakangku seseorang berjalan cepat hingga menabrak tubuhku yang membuatku sedikit terhuyung kedepan. Pantas saja menabrak, toh ditangannya lengket dengan sebuah gerai yang menampilkan wajah seorang pria yang tengah menghubunginya. Ia mengucapkan maaf berkali-kali walau sudah kukatakan tidak apa-apa. Tanpa menunggu lama, aku pamit padanya dengan menundukkan kepalaku sejenak.
Keningku berkerut melihatnya masih memperhatikanku yang sudah duduk didalam mobil. Ada apa? Bahkan matanya mengikuti mobil ayah hingga keluar dari parkiran cafe. Aneh.
___
"Ra, liat ini deh." Suara Ibu menghentikan langkahku yang hendak kekamar. Aku 'kan baru pulang, Bu. Udah ngantuk ini.
Walau menggerutu, aku tetap menghampiri Ibu. Ditangan Ibu ada sebuah majalah fashion yang kuyakini terbitan minggu ini. Ibu memang tak pernah lupa mengikuti tren fashion sekarang ini. Bukan hanya itu, aku juga yakin apa yang akan Ibu lakukan padaku.
"Gaun ini bagus, lho, Ra. Pakai bandana begini pasti cocok buat kamu."
Nah kan. Aku bilang juga apa. Menjadi boneka, oh bukan, biar lebih keren menjadi model untuk baju-baju baru yang ingin Ibu jahit. Jangan berpikir, Ibu mengikuti tren fashion dengan membeli semua baju-baju bagus yang tercetak seperti di majalah tersebut. Cara Ibu mengikuti tren adalah, menjahit sendiri baju bahkan sampai gaun yang begitu bagus.
"Iya, Bu. Tapi Sora ngantuk banget sekarang, besok aja, ya?" Aku duduk disebelah Ibu dan menyenderkan kepalaku pada bahu Ibu sambil memejamkan mata.
"Gih tidur, Ra. Udah larut." Ayah yang baru masuk kedalam rumah langsung duduk di sofa seberang.
"Besok, kita ke pasar deh. Cari kain buat baju ini. Eh, tapi ini celananya kalau dijadikan rok lebih bagus deh. Gimana?" tanya Ibu sambil mengukur-ukur bagian celana pada gambar seolah-olah berbentuk rok.
"Iya Bu, iya. Lagian Ibu kok selalu contohin punya orang sih, Bu? 'kan nggak baik, Bu. Kayak ngambil hak cipta orang." Perkataanku berhasil mencuri tatapan Ibu yang sedari tadi tidak lepas dari majalah.
"Ibu 'kan nggak mengumbar-umbar. Ini ibu jahit buat kamu pakai juga, kan? Nggak pernah Ibu jual terus bilang itu hasil pemikiran Ibu. Kamu kalau nggak mau pakai yang Ibu buat, ya sudah nggak usah dipakai lagi."
Aku melongo. Benar-benar tak habis pikir, ini emak-emak merajuk? Ayah yang sedang sibuk bergelut dengan laptop didepannya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
"Ibu kok gitu sih. Sora nggak punya baju lagi dong nanti, Sora tuh cuma nanya, Bu. Mungkin mana tau Ibu mau bikin baju dari gambar-gambar Ibu sendiri. Gambar Ibu 'kan bagus-bagus. Iya 'kan, Yah?" Aku sengaja mencari pembelaan dari Ayah, bisa sakit kepala kalau melihat Ibu merajuk terus.
"Iya." Kulihat Ayah menjawab seadanya tanpa memutuskan mata dari laptop kerjanya.
"Ibu.. jangan ngambek." Aku merengek sambil memeluk lengan Ibu.
"Yaudah ah, sana tidur. Ibu mau tidur juga." Aku lantas bangun dan mengecup kedua pipi Ibu membuatnya geleng-geleng kepala. Mengapa tidak dari tadi, Ibuku sayang?
___
Sudah dua purnama berlalu dengan cerita monoton begitu saja. Daru yang sekarang terlalu sibuk untuk kuajak jalan, sibuk dengan dunia barunya. Sejak sebulan yang lalu, dirinya ikut bergabung bersama para pendaki gunung. Semenjak sering tampil di kafe sepupu Ghia alias Abangnya Alia, mereka semakin dekat, maksudku Daru dan Bang Ando. Karena gunung adalah dunia bagi Bang Ando, ia mengajak Daru ikut serta dalam dunianya. Kadang setiap Sabtu dan Minggu, mereka menjelajahi gunung ataupun bukit didaerah jawa, mungkin mengingat Daru masih harus kuliah di hari lainnya.
Dan aku?
Aku merasa sedikit terlupakan, walaupun tidak sama sekali karena Daru masih menelponku atau memberiku kabar setiap harinya. Hanya saja kami sering tak punya waktu untuk bertemu. Belum lagi mengingat ujianku semakin dekat, setiap merencanakan jalan bersama, ada saja halangan bagi kami, entah aku yang tak punya waktu atau Daru yang juga sibuk.
Lalu bagaimana dengan kerjaannya tampil di kafe? Tentu saja masih berjalan. Seminggu, Daru bisa tampil dua atau tiga kali di kafe. Masih dengan vokalis yang sama, yang kadang membuatku panas dingin setiap melihat mereka. Beberapa minggu belakangan ini, aku sudah jarang menontonnya, salahkan jadwal bimbelku yang semakin hari semakin padat.
Sekarang aku sudah siap dengan baju terbaikku, celana jins putih kupadukan dengan sweater oren jeruk dan sepatu kets putih. Tak lupa dengan rambut yang kuikat kucir kuda, gaya andalanku. Kalau sudah cantik begini, pastinya pada ingin tahu 'kan aku mau kemana? Hahaha.
Daru mengajakku jalan ke mall hari ini, hari yang biasanya ia gunakan untuk menjelajahi dunia barunya. Jelas aku senang, sejak semalam aku sudah tak sabar menunggu waktu sekarang ini. Walaupun mall sangat biasa untuk kami, namun aku tetap senang. Ah, ini pasti akibat merasa jomblo kemarin-kemarin.
Daru sudah menunggu diruang tamu memainkan ponselnya, bahkan tidak menyadari kedatanganku. Mengagetkannya dari belakang pasti seru, bukan? Mari kita coba. Berjalan pelan berusaha tidak menimbulkan bunyi, dengan tangan diudara yang sudah siap bekerja.
"Aku nunggu dari tadi loh, jangan dibuat jantungan lagi."
Hah?
Gagal sudah niatku.
Aku ikut duduk disebelahnya, mengerucutkan bibir, "Kamu kok tau sih? Maunya 'kan pura-pura nggak tau aja biar aku senang. Kamu mah gak asik."
"Bilang sama Ayahmu buat pindahin letak tvnya, kalo mau kagetin aku lain kali."
Aku lantas melihat televisi. Benar saja, dengan layar gelap begitu jelas menampakkan pantulan diriku tadi. Ah mengacaukan saja.
"Yaudah ayo, keburu sore ntar." Ajaknya menarik lenganku.
Setelah pamit pada Ayah dan Ibuku, motor Daru melesat meninggalkan perkarangan rumahku menuju mall yang menjadi tempat kencan kami hari ini. Menyenangkan sekali hari ini, bahkan sebelum merasakan cerita sore ini, aku sudah menbayangkan kesenangannya.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
ragu
Teen FictionDia pernah patah. Perpisahan dengan sang mantan meninggalkan luka pada dirinya. Luka pertama yang pernah ia rasakan ketika mengenal kata jatuh hati. *** Aku adalah penawar, katanya. Enam tahun berteman, aku adalah orang yang selalu hadir saat tawa m...