"Ra, bareng aku aja." Daru bersuara lagi.
Aku menghampiri Arki, tanpa menananggapi Daru. Arki mengulurkan tangannya, membantuku pegangan agar bisa naik ke jok motornya.
"Ki, lo nggak bawain gue helm, jadi lewat jalan kecil aja, ya." Ujarku saat sudah duduk dibelakangnya.
"Oke. Pegang, Ra, ntar jatuh." Aku memegang sisi jaket Arki, bukan untuk memanasi Daru, tapi memang harus pegangan agar tidak jatuh. Lagi pula untuk apa membuatnya cemburu? Dia tidak akan pernah cemburu, selagi masih bisa berpikir secara sangat dewasa.
"Duluan, Bang." Pamit Arki pada Daru, ia hanya mengangguk. Tuh kan, mana ada dia cemburu.
Aku bertanya-tanya, mengapa Daru baru hari ini menjemputku pulang sekolah lagi setelah beberapa minggu absen? Sudah selesai mengurus Alia? Karena dari informasi yang Ghia berikan, operasi donor mata yang dilakukan Alia berhasil dan dua minggu yang lalu, ia kembali bisa melihat walau bukan dengan iris hitam miliknya seperti dulu.
Aku meringis dalam hati, ceritaku dengan Daru akan berakhir seperti apa, ya?
"Jangan melamun, Ra." Arki menegurku, ia melihatku lewat kaca spion motornya.
"Gue nggak melamun, cuma lagi nikmati angin aja." Elakku.
"Kalau kalian udah putus, gue punya kesempatan nggak, Ra?"
Eh?
"Gue nggak putus. Udah ah, jangan ngomong begitu, lo cari cewek lain aja. Ntar lo makan hati kalau sama gue."
"Lo jujur banget sih? Makanya gue bisa suka." Katanya lalu tertawa, tawanya terdengar terpaksa.
"Ki, udahlah, kita baiknya temenan aja. Gue nggak mau kalau pacaran terus putus, kita jadi asing. Mending temenan, kita bakalan baik-baik terus." Aku berharap Arki memahami maksudku.
"Jadi kita temenan?" tanyanya, aku mengangguk mantap.
"Jangan bawa perasaan ya, Ki." Peringatku ketika kami sudah sampai di rumahku. "Mau mampir, nggak lo?"
"Lain kali deh, gue mau jemput adek gue soalnya." Aku mengangguk lalu mengucapkan terima kasih.
___
Sekolahku mengizinkan libur dua hari setelah UN, makanya sekarang dengan santainya aku masih tiduran dikasur sambil menonton tv. Sekarang sudah jam sepuluh pagi, tapi aku belum mandi sama sekali. Aku sudah sarapan tadi, sekalian dengan Ayah sebelum berangkat ke kantor, lalu kembali ke kamarku untuk menonton.
"Ra..." Ibu memanggil dari luar.
"Sebentar, Bu." Aku bangun dari rebahanku, menggulung rambut tinggi, lalu berjalan membuka pintu.
"Ada Daru, dibawah." Kata Ibu, lalu menyerahkan bandana pink kepadaku, "Kebiasaan kamu, Ra, ninggalin barang disofa."
"Hehehe.." Tadi saat sarapan, aku memakai bandana agar rambutku tidak mengganggu saat aku makan, tapi karena sempat berleha-leha diruang keluarga, mungkin aku lupa telah meninggalkannya.
"Gih bersih dulu, Ra. Kucel banget ini, malu sama Daru yang udah rapi." Kata Ibu lagi lalu meninggalkanku.
Aku tak peduli penampilanku, toh yang datang Daru. Kalau diajak jalan, bisa jadi alasan untuk menolak. Aku segera menuruni tangga, menemuinya. Saat sampai di ruang keluarga, bukan hanya Daru yang kulihat, tapi ada Arki juga. Astaga, baru sehari kuajak berteman, hari ini malah ngapel kerumah.
Aku ingin kembali ke kamarku saat kupikir belum ada yang menyadari keberadaanku, namun sudah lebih dulu kutemukan pantulan Daru di layar tv-ku yang hitam sedang menatapku. Tv sialan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ragu
Teen FictionDia pernah patah. Perpisahan dengan sang mantan meninggalkan luka pada dirinya. Luka pertama yang pernah ia rasakan ketika mengenal kata jatuh hati. *** Aku adalah penawar, katanya. Enam tahun berteman, aku adalah orang yang selalu hadir saat tawa m...