17

26 2 5
                                    


Radia benar-benar merealisasikan ucapannya beberapa waktu lalu, ingin membuat pesta ulang tahun ala vintage dihalaman belakang rumahnya yang seluas lapangan bola. Aku tidak salah costum, bukan? Setidaknya warna bajuku bisa mencocokkan dengan temanya.

Disini sangat ramai, menurutku pesta Radia cukup mewah hanya untuk sekedar pesta ulang tahun. Kalau aku pemilik acara, kupastikan tabungan Ayahku akan menangis setelahnya. Ayah memang berasal dari keluarga berada, namun sudah katakan, belum? Kalau Ayah tidak mau sedikit pun menerima pemberian keluarganya jika itu berupa uang, kecuali warisan. Bahkan jika nenek memberiku barang mewah, Ayah akan mengomel tujuh hari tujuh malam, hahaha lebay.

Well, intinya Ayah tidak suka kemewahan.

Aku berpisah dengan Ghia, tidak, tapi Ghia yang meninggalkanku demi berburu makanan. Dia dan Arki sangat menikmati pesta ini. Sementara aku hanya duduk dikursi yang disiapkan, mengikuti alunan musik dan sesekali ikut bergumam jika lagunya kuhafal, walau suaraku pas-pasan.

Sudah jam tujuh malam. Sampai kapan acara ini selesai? Aku mengecek kembali ponselku yang sempat terabaikan. Dua pesan dari Daru, Ya Tuhan aku senang sekali.

Daru: Aku take off  jam 8 nanti, Ra.

Daru: Jaga diri baik2 ya.

Hah? Mau kemana?

Ini bukan akhir pekan yang biasanya ia gunakan untuk menjelajah Nusantara. Ia membalas pesanku pukul 18.21 WIB, sekitar setengah jam yang lalu. Aku segera menghubunginya, selagi sedang online.

"Hai." Daru menyapa diseberang sana. Aku segera menyingkir dari keramaian, berbelok kekiri dimana tulisan toilet tertulis.

"Kamu mau jalan lagi?" Tanyaku. Ruangan tempatku berada cukup sepi, memudahkanku mendengar helaan napas Daru.

"Iya, perjalananku kali ini jauh," Daru diam sejenak, "tiga ribu mil." Lanjutnya kemudian.

"Kamu... mau kemana?" Suaraku mengecil.

"Tokyo."

"Kamu nggak ngasih tau aku. Segitunya aku gak penting, Dar?" Lirihku. Aku menyenderkan tubuhku kedinding.

"Sora..." panggilnya.

"Kalau aku nggak ngajak ketemu besok, mungkin aku nggak bakal tau kamu mau pergi."

"Ra..."

Aku menutup panggilannya, lalu keluar dari toilet ini. Aku membuka aplikasi ojek online, memesan salah satunya untuk mengantarku pulang. Setelahnya aku mengirim pesan pada Ghia memberitahukan bahwa aku pulang duluan agar nanti mereka tidak mencariku.

Saat ini yang paling ingin kulakukan adalah membenamkan tidur. Aku ingin memendam rasa sesak ini dalam bantal. Apa acara keluarga yang dimaksud adalah acara perpisahannya? Tanpa aku?

Aku menyerahkan helm pada mas ojek, "Go-Pay ya, mas." Ucapku sambil mengulas senyum kecil.

"Makasih, mbak. Minta bintang lima boleh, ya?" Kulihat mas ojek ini menyengir lalu kubalas anggukan, tidak ada salahnya menyumbang bintang, tidak bayar kan memberi bintang?

Aku masuk kedalam, salamku hampir saja menggantung saat melihat siapa yang duduk diruang tamu bersama Ayah dan Ibuku.

"Assalamualaikum." Ulangku sekali lagi membuat ketiga orang itu menoleh, semua serentak menjawab salam.

Daru tersenyum padaku, tapi aku bingung hingga tidak bisa menarik bibirku agar membalas senyumnya. Bukannya ia harus kebandara? Satu jam lagi penerbangannya. Walau aku masih tidak terima ia harus pergi tanpa pamit padaku sebelumnya.

raguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang