Ini sudah terlalu lama, menjadi dua orang asing bagi sepasang insan yang pernah menghabiskan waktu bersama. Pernah beberapa kali, perasaan ingin bertemu itu datang, ingin menghirup aroma mint yang selalu menguar dari tubuhnya, ingin kembali bertukar kabar dengannya. Ingin dirinya lagi.
Dan aku, terlalu bodoh melepaskannya saat itu.
"Hai, Ra."
Aku mendongak, menatap seorang perempuan dengan surai hitam sepinggangnya yang terurai indah. Menyunggingkan sedikit senyum menyambut kedatangannya, "Duduk, Al."
"Tadi aku sempat ragu, kamu Sora bukan, ya?"
Sejenak aku berpikir, benar juga, ya? lalu dia tahu diriku dari mana? Karena kami janji bertemu di cafe yang sedikit ramai hari ini, mungkin karena ini akhir pekan.
"Tapi aku ingat lagi deskripsi tentang kamu dari Daru dulu." Tambahnya yang membuatku mengernyitkan dahi.
"Gimana?"
Dia tertawa sebelum berbicara, "Dulu, sebelum jadi mantan, Daru sering cerita tentang Sora-nya. Dia bilang, kamu punya mata bulat kayak anak kecil, orang bakal betah kalau natap matamu lama-lama. Dia juga bilang, kalau aku ketemu kamu, aku bakal ngira kalau kamu bukan anak SMA dengan pipi chubby yang lucu, dan dia benar." Alia menunjuk pipi yang hari ini kupoles sedikit blush on. "Bahkan waktu kamu mewarnai rambut jadi pirang, Daru kesal sampai membatalkan acara nonton kami." Lanjutnya.
Aku ingat setahun yang lalu, sekolah sedang libur akhir semester. Aku hanya mencoba mewarnai rambutku sedikit pirang hingga libur panjang usai. Namun ketika Daru melihatku dengan rambut baru, ia mendadak tak banyak bicara bahkan jarang melirikku. Dan karena tegurannya rambut pirangku bertahan hanya sampai satu minggu.
"Terus, seperti yang kamu tahu, dua hari kemudian aku mengatakan putus." Alia kembali berujar, dan aku kembali mengernyitkan dahi, tidak paham sama sekali.
"Gue nggak ngerti,"
Dia tersenyum, "Hari itu, aku benar-benar marah. Karena disetiap kami bertemu, Daru nggak pernah lupa ceritakan kamu. Daru memang membedakan antara sahabat dan pacar, tapi aku yang tidak bisa terima setiap mendengar ada teman perempuannya yang juga dijaganya."
Seharusnya aku tersinggung mendengar tuturan Alia, tapi mengingat hal yang ia alami saat itu, aku merasa wajar jika ia bersikap seperti itu. Perempuan mana yang rela perhatian lelakinya terbagi dengan perempuan lain, walau itu hanya sahabatnya.
"Sorry." Satu kata yang bisa keluar dari mulutku.
Alia menggeleng, menyeruput sedikit minuman yang tadi kupesankan untuknya. "Jangan minta maaf, aku sudah nggak mempermasalahkan." Katanya sedikit melegakan hatiku.
Aku juga ingat, setelah mengembalikan warna rambut menjadi hitam semula, aku berniat memberitahu Daru. Namun ketika menemukannya duduk sendiri didekat kolam ikan belakang rumahnya, seketika aku cemas. Tak biasanya Daru melamun jika sedang memberi pakan ikan hiasnya. Daru pecinta ikan.
Ketika Daru menyadari keberadaanku, ia mengulurkan tangan lalu menceritakan masalahnya tanpa melepaskan genggamannya di jemariku. Aku tahu, Alia adalah cinta pertamanya. Ketika mendengarnya berkata bahwa mendapatkan Alia bukan hal yang mudah dan diputuskan sebelah pihak olehnya adalah hal yang tak bisa diterima Daru ketika mengingat perjuangannya mendapatkan Alia. Maka sebagai sahabatnya saat itu, aku tak pernah melepaskan tanganku. Aku selalu berada disampingnya, menemaninya menyembuhkan luka, hingga kita menyadari, kita butuh sesuatu tak hanya sebagai sahabat.
Aku pun menyadari, ketika melihat ia patah karena cinta, aku menjadi temboknya agar tak didekati perempuan lain yang bisa saja mematahkannya lagi. Hingga suatu hari, Daru berkata, "Jangan pernah tinggalin gue, Ra. Gue selalu butuh lo disamping gue, lebih dari sahabat."
"Ra, kamu melamun? Aku sudah tidak marah kok, jangan terlalu dipikirkan." Ujarnya membunyarkan ingatanku tentang Daru. Aku menggeleng, tidak membenarkan ucapannya.
"Jadi, kenapa ingin ketemuan?"
Ia melipat tangannya diatas meja, memandangku sendu. "Maaf sebelumnya, aku pernah lancang membaca pesanmu dengan Ghia minggu lalu. Masalah dirumah sakit, sepertinya kamu salah paham."
Aku kelabakan sekarang, wajahku mendadak panas, perpaduan antara kesal dan malu karena ketahuan mengeluarkan emosiku tentangnya pada sepupunya sendiri.
"Aku kehilangan mataku, Ra. Bang Ando benar-benar membantuku sembuh, dan ia sudah menyiapkan finansial untuk pengobatanku. Ketika mendengar rencananya merenovasi cafe, aku memintanya menggunakan dana pengobatanku untuk biaya renovasinya selagi menunggu pendonor untukku. Nggak lama, berita bagus datang. Aku mendapatkan mataku yang ini." ia tersenyum menambah kecantikannya bersama mata hitamnya yang baru.
"Bang Ando nggak menunda lagi, dan Daru membantuku dengan meminjamkan tabungannya. Serius, Ra, itu Daru lakukan bukan karena ia masih menyimpan rasa padaku. Tapi karena dia membantu Bang Ando melunaskan biaya pengobatan."
Aku mengerjapkan mataku, mendapatkan fakta yang kembali membuatku menyesal karena tidak mendengarkan Daru menjelaskan.
"Maaf." Lagi-lagi kata itu yang bisa kuucapkan.
"Mendengar kabar kalian putus, aku merasa bersalah, Ra. Apalagi karena aku."
Aku menatapnya, "Gue yang salah, Al. Nggak mau denger penjelasan Daru. Gue yang terlalu kekanak-kanakkan. Gue yang nggak bisa mikir positif waktu denger lo didekat Daru. Gue minta maaf, pernah kesel banget sama lo kemarin-kemarin." Aku tersenyum dan menepuk pelan tangannya yang masih ia lipat diatas meja.
Ia balas tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. Aku menatap bingung.
"Tanda berteman." Ujarnya.
Kusambut uluran itu dengan perasaan lega. Bukan Alia pengacau hubunganku, tapi diriku sendiri karena meragukan Daru. Daru benar, aku bersikap seolah-olah yang tersakiti, namun ternyata ia yang menahan beban tersebut.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
ragu
Teen FictionDia pernah patah. Perpisahan dengan sang mantan meninggalkan luka pada dirinya. Luka pertama yang pernah ia rasakan ketika mengenal kata jatuh hati. *** Aku adalah penawar, katanya. Enam tahun berteman, aku adalah orang yang selalu hadir saat tawa m...