2

85 12 0
                                    

Teh hangat dan mie rebus kini menjadi santapan kami sembari menunggu hujan reda diluar sana. Ini bulan Desember, jadi wajar saja jika hujan turun tiba-tiba. Tapi seingatku, ini adalah hujan pertama dibulan ini, hujan yang ditunggu bumi untuk menghidupi para pribumi.

Aku suka hujan, namun hujan melemahkanku. Berkali-kali aku mencoba bermain bersamanya, tapi belum sampai satu menit, tubuhku akan menggigil. Lemah sekali aku ini.

Baru saja aku ingin menyeruput teh hangatku, namun dering ponsel membatalkan aksiku. Dilayar ponsel tertera nama Daru memanggil, lantas kuketuk tombol berwarna hijau untuk menerima panggilannya.

"Dimana?"

"Di warung pojok."

Panggilan terputus, itu artinya Daru sedang menuju tempatku berada saat ini. Kuletakkan kembali ponselku diatas meja, tiba-tiba satu pesan darinya masuk.

Daru: Jgn mkn mie!

Ia terlambat mengatakannya, mie yang kusantap sudah habis sedari tadi. Lalu aku memfoto mangkuk yang sudah kuhabiskan isinya dan kukirim padanya. Tiba-tiba saja aku tersenyum mengingat bagaimana wajah kesalnya saat aku menyantap mie instan.

"Itu senyum kok baru muncul? Daru pake pelet apaan sih?"

"Sembarangan lo." Aku mendelik yang membuat Ghia mendengus kesal.

Tepat saat kugeserkan mangkuk mie rebusku menjauh, kursi warung yang disebelahku tertarik lalu seorang lelaki beraroma mint yang sangat kukenal duduk diatasnya. Teh hangatku yang tinggal setengah dan mulai mendingin, ia seruput hingga tandas.

"Dar, minumanku."

Ia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan botol bening bertutup biru, lalu menyodorkan kepadaku.

"Minum ini, tehnya udah dingin. Ini juga kali terakhir makan mie! Jangan diulang." Aku hanya menggangguk saja, Sehabis makan mie kamu selalu ngomong gitu, tapi besok-besoknya aku makan lagi, maaf ya Daru sayang.

Aku melirik Ghia, ia memutar bola matanya, tampak seperti malas melihatku dan Daru seperti ini. Lantas aku tertawa melihatnya.

___

Didalam ruangan bercat putih bercampur krem ini, Ghia dan Daru bernyanyi. Daru yang bermain gitar, Ghia yang bernyanyi, dan aku hanya menjadi penonton. Aku tak bisa bernyanyi, bakatku tak dibidang itu. Aku lebih menyukai menulis dan menggambar dibandingkan bermain musik.

Mungkin sudah ditakdirkan aku yang tak bisa bermusik dipertemukan dengan lelaki yang jago bermain musik dan Daru yang tak bisa menggambar dipertemukan denganku. Sekarang jarum jam menunjukkan pukul empat sore, hujan yang tadi sudah mereda kini kembali deras. Bahkan suara air hujan mengalahkan suara mereka berdua.

Pukul lima sore, Ghia pamit pulang karena ayahnya sudah menjemput. Sedang aku tinggal berdua dengan Daru sekarang. Belum ada yang terucap diantara kita, ia sibuk memetik gitarnya dan aku yang nyaman memandang hujan dari dalam ruang musik ini.

"Mau pulang?"

Akhirnya aku memecahkan keheningan diantara kami. Ia melihatku lalu beralih ke jendela yang sedari tadi kulihat.

"Hujannya belum reda, nggak mungkin aku bawa kamu pulang dalam hujan."

Aku tak menyahut, kali ini memandang hujan lewat jendela lebih menyenangkan. Daru yang sebelumnya duduk dibelakangku, kini menarik kursinya duduk disampingku.

"Hujan lebih ganteng ya daripada muka aku?"

Aku lantas melihatnya mengernyit, ia menatap lurus pada jendela didepannya. Lalu ia menoleh, mempertemukan tatapannya denganku. Ia mengapit kedua pipiku, lalu berkata,

"Walaupun Alia kembali, aku udah gak peduli. Kan aku udah punya Sora."

Aku melepas apitan jemarinya dipipiku, wajahku menekuk dan membuatnya tertawa sambil mengusap-usapkan pipiku yang memerah karenanya. Ia kembali menyenderkan tubuhnya pada kursi yang ia duduki, menatap kembali hujan diluar sana. Sesekali aku meliriknya, aku ingin bertanya namun ragu. Pada lirikan yang keempat, ia menegurku.

"Nggak perlu curi-curi gitu, Sora."

Aku mendengus, susah sekali ingin bertanya. Setelah lama meyakinkan diri, aku memberanikan diri.

"Daru?"

"Ya?" Ia menoleh.

"Kalau nanti kamu kembali ke Alia gimana?"

Ah, bodoh sekali aku ini. Untuk apa aku bertanya begitu, harusnya 'kan jual mahal saja seolah-olah aku tidak terganggu dengan adanya Alia. Sungguh aku menyesal sekarang.

"Ya aku nggak bakal ninggalin kamu lah."

Sebentar, aku tidak paham. Katanya ia tak akan meninggalkanku, sedangkan aku bertanya bagaimana jika ia kembali bersama Alia. Apakah maksudnya ia akan kembali bersama Alia tanpa meninggalkanku? Apakah ia akan memacari dua perempuan? Aku tak bisa berpikir jernih sekarang.

"Gak usah dipikirkan, Ra. Aku nggak akan balik sama dia."

Ia seolah tahu isi pikiranku, walaupun ia berkata begitu, jawabannya masih belum membuat khawatirku lenyap. Bagaimana tidak? Saat dulu Alia memutuskannya, ia tampak murung beberapa hari. Aku yang saat itu masih menjadi temannya selalu berusaha menjadi teman curhat yang baik, aku dengarkan semua keluh kesahnya. Baginya, Alia adalah perempuan yang ia sayangi setelah ibunya. Perempuan yang selalu memberinya semangat saat ia merasa susah. Perempuan yang sering ia ceritakan saat kita sedang bersama. Hingga akhirnya ia melupakan Alia dan menaruh rasa padaku. Nanti, akan kuceritakan bagaimana aku dan Daru bisa bersama.

Hujan sudah reda, kami langsung keluar dari ruang ini menuju parkiran untuk pulang sebelum hujan turun semakin deras lagi. Daru memberikan satu helmnya yang ia simpan dalam bagasi motornya untukku. Jika sedang bersamaku, Daru selalu menggunakan motor maticnya. Namun saat sendiri ia lebih senang menggunakan motor ninjanya. Aku sempat bertanya, mengapa begitu? Ia menjawab tak ingin aku kesusahan saat menaiki motornya. Lagi-lagi jawabannya membuatku terbang melayang.

___

raguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang