Aku baru ingat bahwa kita belum saling mengenal, ya? Dari awal aku menulis, kalian hanya tahu namaku Sora. Lagi pula seperti kata pepatah, "Tak kenal maka tak sayang" maka dari itu, mari berkenalan agar kita saling sayang.
Aku Sora Azzany, akrab dipanggil Sora. Usiaku tepat untuk dapat memiliki KTP dan SIM, walaupun aku masih belum bisa mengendarai motor. Aku bukanlah gadis yang berasal dari keluarga berada seperti yang biasa kubaca dari novel-novel keren. Ayahku seorang pegawai negeri sipil, sedangkan Ibu hanyalah ibu rumah tangga.
Seperti yang kalian tahu, aku dan Daru memang berpacaran. Aku tidak tahu sebenarnya kami ini disebut apa, disebut berpacarankah jika Daru tidak pernah menembakku? Daru tak pernah mengajakku berpacaran, yang pernah ia katakan dulu hanya kalimat memohonnya agar aku tidak pergi seperti yang Alia lakukan. Selanjutnya ia bilang kalau ia mulai menyayangiku. Kalau sudah begitu apa bisa dikatakan pacaran?
Namun aku tidak begitu mempermasalahkan hal tersebut, menurutku pacaran hanyalah sebuah status, makanya sampai sekarang aku tak pernah menanyainya mengenai status kami. Asalkan perasaanku tidak digantung saja seperti kebanyakan kisah remaja yang lain saat si lelaki tidak memperjelaskan status mereka, aku tidak masalah. Sakit pastinya kalau digantung, sudah nyaman namun hanya sebatas teman. Haha.
Aku mengenal Daru semenjak ia masih menggunakan seragam putih-biru dan aku masih menggunakan seragam putih-merah. Lelaki yang membuatku menangis saat pertama kali berjumpa, bahkan dengan wajah tak bersalahnya ia pergi tanpa meminta maaf. Setelah batang hidungnya sudah tidak kelihatan, aku semakin menangis bahkan menjerit. Bagaimana tidak? Saat itu, ia menyenggolkan lenganku yang tengah memeluk boneka dan karena ulahnya bonekaku jatuh kedalam selokan depan rumah nenekku. Rumahnya dan rumah nenekku tidak begitu jauh, makanya aku pikir ia akan kembali untuk bertanggung jawab dengan membawa alat bantu supaya mudah mengambil bonekaku, ternyata tidak. Benar-benar brengsek 'kan dia? Dan lelaki brengsek itulah yang telah menambah warna cerah dalam hidupku. Lucu sekali jika diingat lagi.
Dulu, Ibu dan Ayah memang sering mengajakku ke rumah nenek saat sore hari. Setelah perjumpaan dengan Daru kala itu, entah mengapa aku semakin sering bertemu dengannya. Jika bukan sedang bermain kelereng dengan teman-teman sebayanya, pasti duduk diatas pondok kayu dekat warung sambil bermain gitar lalu bernyanyi bersama teman-temannya. Sampai pada satu hari, ia menghampiriku lalu mengulurkan tangan kanannya. Aku tak menerima ulurannya, masih kesal dengan ulahnya saat pertama bertemu. Akhirnya ia berkata,
"Maaf deh yang kemarin, gue gak sengaja. Tapi tadi gue udah bilang mama kok buat ganti boneka lo." Ia menggaruk rambutnya yang kuyakini sebenarnya tidak gatal. Aku memicingkan mataku, tidak terima ucapannya.
"Aku nggak mau barang dari orang yang gak ku kenal."
Kulihat kedua alisnya terangkat, ia tampak bingung sendiri. Ia melihat kekiri dan kekanan, lalu melihatku lagi. Kuikuti tingkahnya, melihat kekiri dan kekanan, tidak ada apa-apa. Namun setelahnya ia mengulurkan lagi tangan kanannya.
"Kenalan deh, biar lo terima bonekanya. Kalau lo gak terima, ntar mama marah karena bonekanya gak kepake dirumah. Gue Daru, lo siapa?"
Aku masih tetap tidak menyambut uluran tangannya. Aku mendongak menatapnya, lalu berkata, "aku Sora."
Ia mengangguk dan mengatakan akan membawa bonekanya esok hari kepadaku. Aku tak menjawab apa-apa hingga sosoknya menghilang didepanku. Esoknya ia menepati ucapannya memberikanku boneka dan semenjak saat itu aku dan Daru menjadi teman.
___
Terhitung sudah enam tahun aku mengenalnya. Bahkan Ayah sangat percaya padanya jika ia mengantarku kemana-mana, sebenarnya kesal juga karena semudah itu ayahku percaya padanya. Aku 'kan tetap anak perempuan yang harus dijaga ketat oleh ayahnya, walaupun aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku jika ayahku protektif terhadapku seperti yang terjadi pada beberapa temanku.
Nama yang akrab disapa Daru memiliki nama lengkap, yaitu Malik Andaru. Lebih tua dariku dua tahun dan sekarang ia sedang berkuliah dalam jurusan hukum. Daru memiliki sorot mata yang teduh dan rahang yang tegas, persis papanya. Alisnya tidak begitu tebal namun juga tidak tipis, kulitnya putih dan rambutnya tebal yang biasa kujambak jika ia tengah meledekku. Ia bisa dikategorikan tampan juga, namun tidak setampan idolaku, Shawn Mendes.
Daru memang pintar bermain musik, tapi jangan berpikir bahwa suaranya bagus. Cukup aku yang sabar menikmati suara khasnya yang selalu ia bilang suara mahal, hanya yang istimewa yang bisa mendengarnya. Bernyanyi diatas pondok warung dekat rumahnya dan nenekku yang dapat didengar oleh siapa saja yang lewat juga ia sebut istimewa?
Apa Alia juga pernah mendengar suaranya bernyanyi? Aduh, Sora. Tentu saja pernah. Pacaran selama dua tahun tidak mungkin Alia tidak pernah mendengarkan suara nyanyiannya. Mengingat hal itu kembali membuatku kesal sekaligus takut. Kesal karena Alia kembali dan takut Daru meninggalkanku.
___
"Alia gak pernah dengar aku nyanyi."
Aku terkejut mendengar suara Daru tepat dibelakangku. Cepat-cepat kututup laptopku lalu berbalik menghadapnya.
"Daru? Ngapain?" seketika aku gugup seperti ketahuan mencuri jambu tetangga.
Ia menarik kursi teras didepanku dan membawanya kesebelah kananku untuk ia duduki.
"Ghibahin aku kok sama laptop. Gak punya teman ya?"
Aku melirik ponselku, tidak ada satu pun pesan yang masuk darinya. Tiba-tiba saja ia sudah berada diteras belakang rumahku.
"Datang kok gak bilang-bilang sih? Gak pake salam lagi."
Ia melepaskan topinya dan meletakkan diatas meja tepat disebelah laptopku. Lalu ia meminum air putih yang berada ditangannya, kapan dia mengambil airnya?
"Aku bahkan udah makan donat yang dibikin ibumu. Kamunya aja yang nggak tau aku udah disini dari tadi. Asik banget ngeghibah soalnya, bawa-bawa Alia segala lagi." Ini Daru bukan, ya? Mengapa cerewet sekali dia?
"Buat apa sih bikin-bikin gitu?" Ia bertanya sambil menunjuk laptopku dengan dagunya.
"Bikin gimana?"
"Ya itu, ceritain tentang aku."
"Aku simpanlah." Daru tidak tahu saja, bahwa cerita tentangnya, maksudku tentang kami kubagikan pada sebuah media menulis yang aku pakai. Ia hanya menggangguk, tidak memperpanjang lagi, namun aku salah ketika ia kembali bersuara.
"Jangan dibagi ke siapa-siapa lho, ya." Aku hanya tersenyum menanggapi, lagipula Daru tidak akan tahu tentang ini, setahuku ia sangat malas membaca apalagi cerita-cerita panjang seperti yang kugemari.
"Eh, tapi tadi kamu bilang, Alia gak pernah dengar suara kamu?"
Daru mengangguk, kembali meneguk air putihnya hingga tandas.
"Minderlah kalau aku nyanyi depan dia, suara dia kebagusan sih."
"Jadi secara nggak langsung kamu bilang suara aku gak bagus?!" Aku menatapnya sinis.
"Loh? Aku nggak ngomong gitu ya, kamu sendiri yang bilang gitu."
"Daru.. ya kan sama aja maksud kamu gitu. Jadi kalau depan aku kamu bisa nyanyi-nyanyi karena suara aku juga gak bagus-bagus amat?" Aku bersedekap menghadapnya.
"Pinter amat sih, nih cewek."
"Kurang ajar ya lu."
Ia buru-buru bangkit dari duduknya dan berlari kedalam rumahku, menghindar dari aksiku yang ingin menjambak rambutnya lagi.
___
KAMU SEDANG MEMBACA
ragu
Teen FictionDia pernah patah. Perpisahan dengan sang mantan meninggalkan luka pada dirinya. Luka pertama yang pernah ia rasakan ketika mengenal kata jatuh hati. *** Aku adalah penawar, katanya. Enam tahun berteman, aku adalah orang yang selalu hadir saat tawa m...