O2.2 : biarkan penuh lalu tumpah.

1.5K 389 62
                                    

silahkan dengarkan ini dikala membaca, hanya saran hehe.

O2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

O2.2 : biarkan penuh lalu tumpah.


"ansel?"

ansel terperanjat kaget, wajahnya yang ia telungkupkan diantara lipatan kedua kakinya kini mendongak dan mendapati bundanya yang baru saja keluar dengan wajah merah dan lesunya. Ansel bangun dari posisi jongkoknya, lalu berjalan mendekat memeluk sang bunda.

Memeluk bundanya erat, berusaha menyampaikan. Bahwa bundanya juga butuh dikuatkan. "kok kamu ga masuk?" tanya adelyna.

Ansel terkekeh, "tadi aku mau masuk. Tapi kayaknya waktunya ga pas. Papa lagi butuh bunda." ucapnya.

Adelyna menggeleng, "papa juga lagi butuh kamu. Katanya, ada banyak pesan yang mau disampaikan."

Hati ansel bergetar, seketika benaknya merasa tak enak. Ia melirik sekilas kearah pintu rawat inap sang papa yang sedikit terbuka, lalu kembali menatap bunda dengan gelisah, "pesan apa?"

Adelyna tersenyum kecil, lalu tangannya yang bebas bergerak mengusap lembut rahang putra sulungnya. Dalam hati bersyukur, ia masih diberi hidup untuk mendampingin putra-putranya tumbuh, menua, bersama.

"masuk aja, ya? gausah mikirin yang macam-macam. Papa cuma mau ngobrol sama kamu." kata adelyna, ansel mau tak mau mengangguk. Lalu berjalan masuk ke ruang rawat inap sang papa.

Meninggalkan adelyna dengan senyum mengembang dibibirnya.

"pa?" Panggil ansel, begitu melihat sang papa masih tetap pada posisinya. Duduk dipinggiran kasur, menatap keluar jendela, membelakangi pintu masuk.

Evan menoleh, seketika tersenyum seraya menepuk-nepuk sisi kanan kasurnya yang kosong. Mengisyaratkan ansel untuk duduk disebelahnya.

Ansel menurut, lalu duduk dengan ragu-ragu. Beberapa kali menahan nafas, untuk menormalkan detak jantung. Entah, rasanya, sudah lama sekali tidak berada diposisi secanggung ini bersama sang papa.

ketika ansel duduk disebelah evan, evan tak langsung bicara. Evan terlihat sibuk dengan ponselnya, sesekali evan tersenyum, memandangi beberapa foto yang terlihat dilayar handphonenya. "papa...lagi liat apa?" tanya ansel.

Evan menatap ansel, lalu menggeser ponselnya sedikit agar ansel bisa melihat apa yang ia lihat, "papa habis ngobrol sama bunda kamu, seketika kangen ngeliat kamu waktu kecil." ucap evan, ansel menatap ponsel sang papa yang menampilkan foto-fotonya sewaktu masih bayi bersama sang papa.

"kamu selucu itu waktu kecil. Bayi besar, gembul, suka makan. Kalo disuruh jalan suka males, maunya merangkak. Kalo papa bilang A, Kamu maunya B. Ga pernah nurut sama papa kamu tuh sewaktu masih bayi." ucap evan mulai bercerita. Membuat ansel terkekeh ketika mendengarnya.

Sampai ketika tangan evan bergerak mengelus surai rambutnya, lidah ansel tercekat. "tapi sekarang kamu sudah tumbuh dewasa. Ga pernah males kalau disuruh. Selalu merespon cepat permintaan papa. Sekarang kalo papa bilang A, kamu pasti ngelakuin A. Papanseneng banget, sampai papa ga pernah sadar..." evan menggantungkan kalimatnya, matanya berkaca-kaca.

ansel menghela nafas, menahan tangis, "pa, ansel ga pernah keberatan."

"sampai papa ga pernah sadar kalau papa udah memenjarakan kamu dengan semua itu. Papa ga pernah sadar sudah membuat kamu selalu menahan nafas setiap kali berada didekat papa." ucap evan, senyum kecilnya tercipta.

"mungkin kamu ga pernah keberatan, tapi gelagat kamu ga bisa bohong. Bersama dengan papa, kamu ga bisa bernafas dengan cara yang benar. Papa ga pernah membiarkan kamu memilih jalan sendiri, hanya karna papa takut kamu ikutan gagal kayak papa. Ansel.." lagi, kini suara evan mulai tercekat.

"pa, maafin ansel." ucap ansel lirih, sukses membuat pertahanan evan runtuh.

Evan menepuk pelan bahu putra sulungnya, sebisa mungkin menahan isak tangisnya, "papa, sel. Papa yang seharusnya minta maaf. Maaf karna sudah menahan kamu sejauh ini. Menempamu menjadi orang lain meski itu menjadi seperti papamu sendiri. Maafin papa, ansel. Maaf karna belum bisa jadi papa yang baik buat kamu." ucap evan, lalu menarik ansel masuk ke dalam pelukannya.

"pa, tanpa papa meminta maaf, papa sudah ansel maafkan. papa adalah pahlawan pertama ansel, dan sampai kapanpun, akan terus begitu." ucap ansel lembut. Tangannya bergerak mengusap lembut punggung sang papa.

pelukan mereka merenggang, evan kembali menunjukan layar handphonenya, "sel, papa boleh tanya?"

Ansel mengangguk, "waktu kecil, kamu pernah bilang mau buka studio seni. Kamu masih mau itu? kalo mau, kita mulai sama-sama, ya?"





































Adelyna tengah berbicara dengan seseorang diseberang sana lewat handphonenya. Menunggu dengan gelisah, menunggu seseorang diseberang sana untuk kembali bersuara.

"halo? Bunda?
maaf dodo lagi sibuk
banget. Ada apa?"

Adelyna menghela nafas lega, "oh ya? Sibuk apa kamu? Bunda udah takut aja kamu udah lupa sama bunda dan ga mau ngomong sama bunda."

adelyna bisa mendengar dodo yang terkekeh diseberang sana.

"ya enggaklah.
bunda ada apa selarut ini
nelpon?"

"kamu selarut ini kenapa belum tidur?" ucap adelyna balik bertanya.

"dodo lolos seleksi lomba,
udah tahap terakhir.
yang menang,
bisa buka studio seni sendiri.
dibiayain sekolah. Doain ya?"

adelyna tersenyum cerah. Namun seketika teringat akan maksud dan tujuannya menelpon dodo selarut ini. "do, bunda turut seneng dengernya. Tapi, dodo mau ga luangin waktunya sebentar? papa masuk rumah sakit, dodo ambil jatah libur buat nemenin papa dirumah sakit beberapa hari. Dodo mau?"

tak ada jawaban diseberang sana. Adelyna menunggu dengan cemas.

"ada bang ansel kan?
Kayaknya papa lebih butuh
Bang ansel ketimbang dodo.
dodo jenguknya nanti aja,
kalo udah ga sibuk"

Adelyna merasa tak asing dengan pola jawaban dodo. Dan karena jawaban dodo, adelyna seketika menangis tanpa suara.

menahan isakannya.

to be continued.



A/N
Dichapter ini kita fokus sama keluarga evan dulu. baru next kita fokus ke keluarga refat. dua duanya punya masalah yang cukup kuat, sangking kuatnya aku sampai ikutan nangis pas nulisnya.

evan mulai membenahi kesalahannya dari awal, mulai dari ansel. Sabar, satu per satu, sampai nanti evan berada dipuncak kesalahannya, yaitu dodo. Kita akan merasakan yang namanya kelegaan luar biasa. Mau tumbuh kuat bersama evan?

Aku harap kalian ga keberatan ketemu sama cerita ini lagi. Karna cerita ini udah bagaikan obat dikala penat buat aku. So, masih ada yang baca dan mau dukung cerita ini?? Mana suaranya coba hehe.

we're in this together. | pds2-pdxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang