O2.5 : lost the turning point
Adelyna tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika mendengar kalau dodo mau menemui sang ayah. Maka ketika adelyna mendapat telpon dari wali kelas dodo yang mengatakan dodo akan mengambil jatah libur untuk menjaga sang ayah, adelyna langsung menjemputnya.
Maka, disinilah mereka sekarang, dilorong lobi rumah sakit. Berjalan beriringan dengan adelyna yang menggenggam tangan dodo erat. Berbeda dengan dodo, ia setengah mati menahan gemetar yang terus memaksa keluar dari dalam tubuhnya. Hingga, ketika langkah adelyna tiba-tiba terhenti, dodo mau ga mau jadi sedikit terkejut, "kenapa, bun?"
"bunda lupa, disana ga ada snack. Bunda mau beli dulu. Kamu mau ikut bunda atau jalan duluan ke kamar ayah?" tanya adelyna. Dodo diam sebentar lalu kemudian ia menggeleng.
"engga,deh. Dodo duluan aja. Itung itung surprise buat ayah karna temen ributnya udah balik lagi." ucap dodo, berusaha melucu. Adelyna terkekeh, lalu dengan cepat mengusak lembut rambut putra bungsunya itu.
"yaudah, bunda ke kantin supermarket dulu, ya."
Sepeninggal adelyna, dodo melangkah ragu menuju kamar rawat inap ayahnya. Beberapa menit ia terdiam didepan pintu kamarnya ketika ia sudah sampai disana. Memegang kenop pintu, merasa ragu-ragu untuk memutarnya.
Dodo menghela nafas sebentar, lalu memutar kenop pintunya pelan. Berusaha keras masuk ke sana tanpa menimbulkan suara. Berjalan mendekat, mengintip keadaan sang ayah.
yang kemudian, langkahnya terhenti saat tahu bahwa ayahnya tak sendirian disana.
ada ansel.
dodo berdiri kaku ditempat, mendengarkan dengan seksama obrolan yang tercipta antara ayah dengan abangnya itu.
"liat, kamu mau design yang kayak gimana buat studio kamu? dulu kamu kan maunya yang begini? Sekarang masih atau gimana?"
tunggu. Alis mata dodo terangkat sebelah, matanya memicing. Studio? Studio apa?
"percaya atau engga, pa. Kalo studio seni ansel nanti masih model tempo lama, pasti ga akan ada yang mau dateng. Kalo dimodifikasi kayak gini gimana?"
deg.
studio seni?
tubuh dodo seketika gemetar. Kepalanya mendadak pusing. Seketika teringat kenangan lalu, masa dimana dirinya ribut besar dengan sang ayah perihal dirinya yang memaksa untuk berkecimpung didunia seni. Berusaha keras sendiri, mengumpulkan uang jajan hanya untuk membeli peralatan seni sendiri tanpa bantuan kedua orangtuanya. Masih teringat betul bagaimana ayahnya dulu memarahi sang bunda habis habisan karena ketahuan membelikan dodo perlatan seni.
Sejak saat itu, dodo benar-benar berjuang sendirian untuk mencapai apa yang ia inginkan.
Rela tidak makan seharian hanya untuk membeli cat lukis terbaru. Hingga akhirnya jatuh sakit karena pola makan yang sudah mulai tak teratur saat itu.
Dan sekarang, apa ia tak salah dengar?
semudah itu ayahnya mengizinkan ansel berkecimpung didunia seni?
membuatkannya studio seni?
sementara dodo? harus berusaha keras sendiri, bersaing dengan yang lain untuk dapat dibuatkan studio seni gratis oleh sekolah?
dodo mendecih, rasa marah dengan cepat memenuhi benaknya. Dan tanpa menyapa, dodo pergi dari ruang rawat inap itu, tanpa mengabari ibundanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
we're in this together. | pds2-pdx
Fiksi Remajasetiap kita, punya cerita. #1 on X1 (10012020) #1 on seungwoo (07032020) #3 on X1 (11012020) ©sinema keluarga || lokal || -savageafme.