O1.3 : sederhana, namun nyatanya rumit

1.8K 426 43
                                    

O1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

O1.3 : sederhana, namun nyatanya rumit

Ansel melirik kearah jam dinding ruang kerja sang ayah. Ternyata sudah pukul sepuluh malam. Ansel menghela nafas lalu menatap ayahnya yang tertidur meringkuk disofa yang ada diruang kerja.

Seulas senyum tercipta pada bibir Ansel, dengan gerakan cepat ansel pergi keluar lalu menuju kamarnya hanya untuk mengambil selimut dan bantal lalu kembali lagi ke ruang kerja. Menyelimuti ayahnya dan menaruh bantal dibawah kepala sang ayah agar ayahnya bisa tertidur dengan nyaman.

"selamat tidur, ayah." ucap ansel pelan, lalu beranjak pergi darisana.

Langkahnya menuju lantai dua, kemudian terhenti tepat didepan pintu kamar sang adik, dodo. Ansel masih mendengar suara grasak-grusuk dari dalam, suara seperti pensil yang tengah menggores kertas dengan kencang, lalu setelahnya ansel mendengar suara seperti kertas yang disobek.

"dek?" panggilnya.

Tak ada sahutan, lalu ansel coba meraih kenop pintu, memutarnya. Namun, pintu itu tak bisa dibuka karna dikunci dari dalam. Ansel menghela nafas berat,

ansel merasa bersalah.
































ansel bangun tidur dan sudah dalam keadaan rapih siap berangkat kerja. Kemudian ia turun menuju meja makan dimana sudah ada ayah dan bundanya disana. Tapi dia tak melihat dodo, "loh,bun? Dodo mana?" tanya ansel.

Adelyna, bundanya, tersenyum, "bunda seneng banget hari ini dodo berangkat ke sekolah gercep banget. Biasanya kan maunya mepet mepet jam masuk, haha." ucap bundanya, sambil menyiapkan makan untuk ansel yang sudah duduk disalah satu kursi meja makan.

"alah, paling juga itu ada maunya. Anak itu kan emang suka bertingkah semaunya. Gatau apa yang mau dituju, sembrono." ucap evan, tanpa mengalihkan pandangan dari koran yang ia baca.

Adelyna menggeleng, "ya, persis banget, mas. Kayak kamu dulu." timpal adelyna santai.

Ditengah cengkrama antara bunda dan ayahnya, ansel menghela nafas berat. Sudah jelas alasannya, dodo menghindarinya.

"ansel hari ini kamu lembur dulu dikantor. Masalah meeting kemarin makin runyam, papa mau take permasalahan sama kolega papa yang dari amerika kemarin." perintah sang papa,

membuat lagi-lagi ansel menghela nafas berat,

"iya, pa."

Dan adelyna, sang bunda, menangkap sinyal aneh dari putra sulungnya itu.



































"ansel"

Panggilan dari sang bunda membuat gerakan ansel yang mau menaiki mobilnya terhenti. Ansel berbalik yang kemudian mendapati sang bunda yang sedang merentangkan kedua tangannya. Senyum ansel mengembang, dengan cepat ia menyambut sang bunda masuk ke dalam pelukannya.

Ansel membenamkan seluruh wajahnya pada bahu sang bunda. Menghela nafas berat berulang kali, lalu memperat pelukannya.

"tadi malam bunda kebangun, sekitar jam dua-an kalo ga salah. Tiba-tiba aja ngerasa kangen banget sama dodo."

Ansel diam, mendengarkan suara bundanya yang sedikit teredam karena pelukannya.

"jadi bunda bangun terus pergi ke kamarnya dodo. Tapi pas bunda coba masuk ternyata kamarnya dikunci. Dan bunda takut banget. Karna ga biasanya dodo ngunci pintu kamarnya." ucap sang bunda lagi.

Ansel memberi anggukan, sebagai respon kalau dirinya mendengarkan.

"ansel, kamu sama dodo beda umurnya jauh banget. Kamu tau itu. Tapi, sadar atau engga, walaupun gitu, kamu sama dodo punya banyak kemiripan." ucap bundanya lagi, kali ini melonggarkan pelukannya, untuk melihat tepat kearah putra sulungnya.

Ansel menatap kearah sang bunda teduh, menunggu cerita lanjutan dari sang bunda tentang dirinya dan adiknya,

"bedanya cuma satu. dodo bisa nolak, kamu engga." ucap bundanya.

"anak pertama, harus ditempa, habis-habisan. dipoles sedemikian rupa menjadi baik atau luar biasa baik supaya bisa jadi contoh buat adik-adiknya. Hampir ga punya kesempatan untuk memilih sendiri, bahkan untuk jadi dirinya sendiri." ucap bundanya, seraya mengusap lembut kening ansel, putra sulung kesayangannya.

hati ansel bergetar, matanya perlahan memanas, "bun.."

"kak, kalo udah capek, bilang, ya? jangan tunggu orang lain buat sadar. Kakak juga perlu buat sedikit gerakan."

ansel teramat sayang dengan bundanya.
































Dodo menggulung kertas yang sudah penuh dengan gambaran asal-asalannya lalu memasukannya kedalam tas. Setelahnya, ia keluar dari kelas, bergegas pulang.

Berjalan melewati halaman sekolah, untuk menuju halte bus yang tak jauh dari gerbang depan sekolahnya. Namun, begitu sampai gerbang, langkah kakinya tak bisa lanjut melangkah menuju halte bus karna melihat sebuah mobil sedan hitam dengan plat mobil yang ia kenal.

Matanya memicing, memastikan. Dan memang benar. Ketika dodo berjalan mendekat, sisi kaca salah satu mobilnya terbuka, menampilkan sang kakak yang tersenyum kearahnya.

Dodo makin terheran, "ngapain abang disini?"

"mau ngajak nonton bioskop."

Dodo diam saja. Ansel terkekeh, "kok diem? Gamau?"

dodo berjalan mendekat kearah mobil sang kakak, sedikit merundukan tubuhnya, "dodo seneng abang inget sama janjinya. tapi ada satu hal lagi yang dodo tunggu dari abang."

Ansel berpikir, "apa emangnya?"

"hampir semua orang dewasa suka lupa, kalau kata maaf jauh lebih berharga daripada menggantinya dengan menepati janji sebelumnya."

Habis berkata begitu, dodo lanjut menuju halte bus. Meninggalkan ansel yang terdiam kaku ditempatnya.

to be continued.

A/N
Sebagian besar anak-anak akan senang kalau janji akhirnya bisa ditepati. Tapi dodo engga, menurut kalian kenapa? Yuk diskusi yuk!! Hehe
Jangan lupa vote dan comment, luv!

we're in this together. | pds2-pdxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang