O1.4 : resmi tinggalkan rumah.

1.6K 424 53
                                    

O1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

O1.4 : resmi tinggalkan rumah.

hari ini, dodo resmi jadi anak SMA. dan hari ini pula, dodo resmi tinggalkan rumah karna SMA SENI yang dipilihnya mengharuskan setiap muridnya asrama. Diperbolehkan pulang sebulan sekali, dan boleh dikunjungi seminggu sekali. Ada jatah main keluar maksimal dua kali dalam tiga bulan, dan tidak boleh memegang uang secara berlebihan.

Ansel memandangi dodo yang lagi beres-beres bajunya ke koper dibantu oleh bunda. Ansel melamun, percaya atau tidak, sejak kejadian dimana ansel tidak menepati janjinya, dodo benar-benar membuat jarak yang sangat jauh darinya. Tak memberinya ruang untuk bicara, sekecil apapun itu sampai hari ini.

Ansel tidak pernah tahu, kalau dodo bisa semarah itu.

"udah semua, do? Adalagi, ga? Duh kok bunda ngerasa bawaannya kurang banget ya?! Huhu ANAK BUNDAA!" pekik sang bunda heboh, seraya menarik dodo yang terkekeh kecil kedalam pelukannya.

Ansel memandangi tingkah itu dalam diam, dalam hati ingin sekali turut melakukan hal itu, tapi apadaya, sekat itu masih ada. Dan ansel ga mau memaksa untuk menerobosnya.

"ayo, bun. Berangkat sekarang aja. Aku udah ga sabar tinggal di asrama."

























Dodo lagi pakai sepatu diteras rumah, ansel lagi manasin mobil karna nanti dia yang nyetir. Sementara adelyna, sang bunda, tengah memasukan beberapa snack tambahan untuk persediaan dodo diasrama nanti. Evan cho, suaminya, yang baru saja keluar dari kamar mendengus pelan melihat tingkah sang istri, "apa harus begitu banget apa kamu?" tanyanya.

Adelyna tersenyum lebar, "harus, dong. Anak bunda yang satu itu bentar lagi mau lepas dari bunda, jadi bunda harus pastiin kalau anak bunda yang satu itu persediaannya cukup biar selalu baik baik aja disana nanti." jelas adelyna panjang lebar.

Evan sendiri tidak terlalu mendengarkan, karna tiba-tiba saja notifikasi dari group kantornya mengalihkan perhatiaannya. Raut wajah evan mengeras, dengan gerakan cepat ia memasukan handphone itu kembali ke dalam saku celananya, "mas gaikut nganter dodo. Kalian aja berangkat. Ada urusan genting dikantor." ucapnya cepat, tanpa sempat adelyna cegah.

"mas!"

evan cho tetap melangkah cepat, melewati ansel yang terheran ketika melihat sang ayah yang pergi berlalu begitu saja, menuju mobil yang satu lagi, lalu melaju keluar dari rumah.

dodo sendiri ga mau ambil pusing dengan tingkah papanya. Toh, udah tau bakal begini jadinya.

papanya, mana pernah sih peduli sama dia?



















Diperjalanan, ansel sibuk mengemudi. Sementara bunda dan dodo duduk dibelakang sambil mengobrol asik soal sekolah SMA Seni pilihan dodo.

Ansel sesekali melirik kebelakang, memperhatikan bagaimana dodo hanya menimpali setiap celotehan dari bunda dengan sahutan datar tanpa minat. Ansel menghela nafas,  bisa terlihat jelas kalau dodo dalam keadaan yang tidak mood. Dan ansel yakin betul kalau sang bunda menangkap hal itu, makanya daritadi bundanya usaha begitu keras untuk mengembalikan mood dodo.

"do, disekolahmu nanti bakal ada banyak peminatan, kan? Udah tau mau kearah mana?" tanya bunda, kali ini sukses menarik perhatian dodo.

"dodo mau ambil seni kriya bunda, sekaligus sama seni lukis. Dodo mau fokus kesana. Terlebih kriya sih, mau refleksiin hasrat dodo kearah yang lebih terasa, ga cuma dikertas atau canvas aja." jawab dodo, terasa sekali antusiasnya.

"dodo mau fokus ke patung, bun. Suatu saat nanti, dodo mau punya gallery patung sendiri." kata dodo lagi.

Mata adelyna melebar, merasa bangga karna anak bungsunya sudah sejauh ini dewasanya. Menentukan peminatan diawal langkah, bukanlah hal yang mudah. Dan dodo bisa melakukannya. Memilihnya dengan yakin, diiringi antusiasme yang menjanjikan. "oh ya? kalau suatu saat nanti kamu jadi punya gallery,  udah kebayang konsepnya apa?"

"sampah, bun."

ansel yang tadinya fokus menyetir,  mendadak harus menginjak rem mendadak karna perkataan adiknya.
























beberapa saat mereka bertiga sampai, ansel, dodo dan bunda berkeliling sebentar melihat keadaan sekolah, termasuk keadaan asrama. Dodo dapat kamar dilantai tiga,  nomor dua. Kamar asramanya bersih, ada satu kasur, satu kulkas kecil, satu lemari, satu kamar mandi dan satu meja belajar dan kursinya. Tidak mewah, sederhana dan itu cukup.

setelah puas berkeliling sampai habis batas waktunya. Kini saatnya ansel daj bunda harus benar-benar melepas putra bungsunya.

Ansel menepuk pucuk kepala dodo pelan dengan senyum bangganya yang mengembang, "semangat, sukses. Kalo ada apa-apa, jangan segan untuk langsung telpon keluarga." ucapnya.

Dodo hanya mengangguk sebagai sahutan.

"do."

dodo menatap sang bunda, pertahanannya dibuat kuat agar tak terlihat sedih atau bahkan ingin menangis. Bunda menarik dodo masuk kedalam pelukannya, memeluknya erat, mengusap punggung putra bungsunya lembut.

"maafin bunda, ya."

menangis sudah dodo saat itu juga. Bukan bunda yang dodo harapkan mengeluarkan kalimat itu.

Bukan,

"iya, bunda." dodo menyahut dengan suara seraknya, benaknya menghangat, seketika paham,

kalau bunda adalah sosok yang selalu mengingatkannya perihal kata maaf selalu dibutuhkan oleh siapa saja, meski terluka atau tidak.

to be continued.

A/N
Sedih ga kalau kalian jadi dodo?

we're in this together. | pds2-pdxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang