O1.8 : the way to heal

1.7K 386 90
                                    

O1.8 : the way to heal.

dengan cardigan rajut yang menyelimuti tubuhnya, adelyna duduk diteras rumah menunggu ansel pulang dengan pandangan kosong, namun tidak dengan pikirannya. Pikirannya menyelam jauh hingga ke dasar, ke habisan nafas ditengah jalan kemudian kesulitan untuk kembali ke permukaan.

beberapa detik kemudian terdengar suara pagar rumah yang terbuka, menampilkan ansel disana. Mata adelyna seketika kembali berkaca-kaca. Ingin bergerak menghampiri putra sulungnya, namun kakinya terlalu lemas untuk sekedar melangkah.

"ansel." panggil adelyna dengan suara serak. Ansel tersenyum pilu, berjalan mendekat lalu duduk bersimpuh, menumpukan wajahnya pada lutut sang ibu. Menangis ia disana, menimpahkan seluruh pilu.

adelyna mengusap lembut kepala ansel yang telungkup dilututnya, "nak, tadi papa bilang, katanya, mama bisa sebegitunya sama dodo, tapi ga bisa sebegitunya sama kamu." ucap adelyna, membuka topik pembicaraan.

terasa ansel menggeleng, membuat adelyna semakin menangis, "bunda minta maaf, ya, kalo memang bunda seperti itu. ansel tau, kan? Kita sama-sama tau, kan? Tapi kalau memang bunda kelewat batas, tolong tegur bunda. Tolong ingatkan bunda kalau ansel juga butuh bunda." ucap adelyna, terputus-putus karna menahan isakannya.

"bunda ga mau berbuat salah lagi." ucap adelyna, ansel mengangkat kepalanya. Tangannya bergerak mengusap lembut pipi sang bunda yang mulai nampak kerutannya.

"bunda inget, ga, dodo tumbuh disaat seperti apa?" tanya ansel, adelyna diam menatap sang putra sulung.

"dodo tumbuh disaat keluarga kita lagi ga baik-baik aja. Hampir setiap hari bunda sama papa berantem karna masalah perusahaan yang ga kunjung berhasil waktu itu. Bunda jarang dirumah, begitu pula dengan papa. Sekalinya kalian dirumah, pasti ribut. Dan dodo tumbuh dengan itu semua. Lalu ansel, ansel disana berusaha menggantikan sosok kalian, walau ga sepenuhnya bisa." ucap ansel, suaranya gemetar, takut.

"ansel kenalkan dodo pada cita-cita terbesar ansel, melukis. hingga dodo begitu mencintainya sampai sekarang. Namun sayang, ansel harus tinggalkan dodo karna ansel mesti banting stir membantu papa, karna papa bilang, papa butuh ansel waktu itu. Ansel ga keberatan. Tapi akhirnya, dodo tumbuh mencintai yg dicintainya sendirian. Tanpa bunda, tanpa ansel, tanpa papa." cerita ansel lagi, membuat adelyna sepenuhnya sadar

"sesaat semua berhasil, gaada yang kunjung berubah. Dodo malah makin sendirian. makanya dodo berani berontak untuk menentang papa yang melarang dodo untuk berkecimpung didunia seni. Yang malah makin membuat papa semakin jauh dari dodo. Menurut bunda, kenapa dodo berani melakukan itu semua?" ucap ansel, kini bertanya pada sang bunda.

Adelyna menggeleng, tangannya bergerak menangkup sang putra sulung.

"karna dodo gabisa melepas sesuatu yang selama ini menemaninya tumbuh. Bagi dodo, seni dan melukis adalah temannya. Temannya dalam mencari jati diri. kalau dodo melepas itu semua, dodo takut sendirian lagi." ucap ansel, pertahanannya runtuh. Menangis ia sejadi-jadinya.

"kita semua salah disini."





























"kamu mau kemana minggu pagi gini udah rapih? Mau ke percetakan?" tanya evan melihat sang istri sudah berpakaian rapih. Sang istri tengah duduk disofa ruang tv seraya memakai kaus kaki. Evan berjalan mendekat, untuk melihat wajah adelyna.

Barulah ia sadar betapa sembabnya wajah sang istri. Dengan raut khawatir, evan mendekat, duduk disebelah sang istri. Menarik tangan sang istri yang tengah memakai kaus kaki untuk digenggamnya erat, adelyna tersenyum memperhatikan genggaman tangan sang suami pada tangannya, "aku mau pergi ke rumah saudaraku sebentar."

we're in this together. | pds2-pdxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang