O2.3 : menjadi paham, jadi bumerang

1.5K 366 44
                                    

O2.3 : menjadi paham, jadi bumerang.

Dio tahu persis bahwa hidupnya bagaikan sebuah panggung teater yang dipenuhi adegan bermain peran. Dimana kehidupan dirumah dengan kehidupannya diluar teramat berbeda seratus delapan puluh derajat. Jika rasanya dio dirumah begitu teramat dicintai, maka diluar rumah, dio merasa terabaikan luar biasa sekali.

maka jika ada yang bertanya pada dio, tempat apa yang menjadi favoritnya? Maka rumah adalah jawabannya.

Dirumah, dio bisa mengobrol bersama ayah karna mereka punya minat yang sama. Dirumah, dio bisa merasakan pelukan bundanya yang bagaikan obat untuk penatnya.

dan yang terpenting, dirumah, dio bisa merasakan sebegitu dihargainya oleh gama.

iya, gama.

sebagian besar orang melihat keluarganya adalah keluarga yang teramat baik. Luar biasa idaman, namun jauh dibagian terkelamnya, ada kisah yang tak pernah berani dio utarakan kepada siapapun terkait hubungan yang sebenarnya antara dio dan gama, yang jauh dari julukan kakak-adik yang sempurna.

Dirumah, gama terlihat begitu teramat menyayanginya. Menganggapnya adik sebenar-benarnya adik. Namun diluar, terutama disekolah, gama sama sekali tak meliriknya.

Gama tidak peduli apapun yang terjadi terhadap dirinya diluar rumah.

termasuk tidak peduli soal dio yang menjadi bual-bualan berandal sekolah yang sering menganggu dan menganggapnya lemah.

"woi, jantungan."

Dio tersentak, hampir tersedak makanannya sendiri saat segerombolan laki-laki menganggu momen makan siangnya seorang diri dihalaman belakang sekolah. Asap rokok mengitari dio yang terduduk kaku seraya menutup hidungnya.

"sengaja banget makan sendiri kayaknya? Kode minta ditemenin ya?" kata salah seorang laki-laki, yang mengapit rokok dikedua belah bibirnya. Laki-laki itu meniupkan asap rokok kepadanya, membuat dio terbatuk teramat keras, hingga dadanya terasa sesak.

Namun dengan kurang ajarnya, segerombolan itu hanya tertawa, memandang puas karna berhasil membuat dio semakin terlihat lemah.

Jam tangan dio berdenting tanda detak jantung yang mengencang diluar batas. Dan hal itu justru semakin mengundang tawa segerombolan laki-laki yang merundungnya.

Dio merogoh sakunya panik, namun gerakan itu tak lama dicegah oeh salah satu laki-laki, yang membuat botol obat yang hendak dikeluarkan dari sakunya terjatuh ke lantai berceceran.

Dio didorong jatuh terduduk, membuat kotak bekal yang ia bawa turut terjatuh mengotori pakaiannya.

"gila ya, pantesan aja si gama ga mau ngakuin dia adeknya disekolah. Orang selemah ini orangnya."

"gama disekolah pemegang kendali anak-anak, beda jauh banget sama ini anak satu."

Pandangan dio merabun, namun telinganya masih dapat mendengar dengan jelas. Sekilas ada rasa nyeri dibenaknya ketika mendengar kalimat yang terlampau sering dilemparkan kepadanya.

dio pernah terlampau sering bertanya, apa alasan gama sebegitu membencinya? dan bertingkah seperti ini kepadanya?

dan ketika dio mendengar jawabannya, dio harus menelan kecewa.

karna jawaban yang ia terima, sama dengan apa yang segerombolan anak laki-laki yang merundungnya katakan.

gama benci dio, karna dio lemah. Itu saja.

Pandangan dio semakin merabun, namun dari kejauhan, ia bisa melihat seorang yang ia kenali perlahan mendekat lalu berjongkok dihadapannya.

gama.

"semakin melemah, ya? Ck." ucap gama, lalu tanpa aba-aba mencekoki obat ke dalam mulut dio paksa, membuat dio harus menelannya susah payah.

sebenci itu gama kepadanya.











































Ini pertama kalinya hanandi pulang ke rumah lebih dulu dibandingkan anak-anaknya. Biasanya, hanandi selalu pulang ke rumah dalam keadaan anak-anak yang sudah tertidur pulas dikamarnya. Namun kali ini, hanandi pulang lebih dulu, dan ia mau memanfaatkan moment ini untuk menyambut kedua putranya ketika pulang nanti.

"bun?" panggil hanandi ketika sudah beres bebenah diri, menghampir sang istri, cila, yang tengah sibuk memasak makan malam.

"anak anak udah dalam perjalanan pulang belom?" tanya hanandi, seraya mendudukan dirinya disalah satu kursi meja makan.

cila mengangguk, "udah, tadi dio telpon aku. Katanya dia lagi dijalan pulang. Tapi dia pulang sendiri, karna gama bener bener sibuk. Aku khawatir banget." ucap cila,

Hanandi terkekeh, lalu meraih tangan cila yang berdiri tak jauh darinya. Mengusap lembut tangan itu untuk menenangkan, "kamu tenang aja. Dio gabakal kenapa-kenapa kok. Dia udah pinter dalam menjaga kesehatan dirinya sendiri."

Tak lama hanandi berbicara begitu, pintu masuk utama rumah terbuka, menampilkan wajah masam cardio. Bibirnya cemberut, jalannya cepat menuju kamar, mengabaikan hanandi yang menyapanya. Membuat hanandi terheran heran sekaligus khawatir.

Cila yang sadar terkekeh, "kamu jangan khawatir gitu dong. Dio emang gitu setiap pulang sekolah. Dia itu anaknya introvert banget, dari dulu, tenaganya selalu terkuras habis-habisan kalau berinteraksi sama banyak orang disekolah. Makanya moodnya ga pernah baik setiap pulang sekolah." jelas cila,

sedikit membuat hanandi lega, "kaget aku liat dio bisa cemberut begitu. Dia kan biasanya senyum mulu kerjaannya. Gini nih efeknya kalo ga pernah dirumah pas anak pulang sekolah, jadi kaget sendiri liatnya." ucap hanandi, merutuki dirinya sendiri.

Cila sekali lagi terkekeh, "iya, mulai sekarang kamu harus paham deh sama tingkah anak bungsumu yang satu itu. Kalo moodnya lagi ga baik, jangan ditanyain macam-macam dulu."

Hanandi terlampau senang melihat cila yang teramat paham dengan karakteristik anaknya.

hingga mereka tak pernah sadar, bahwa terkadang, menjadi terlalu paham juga bisa jadi bumerang.
















































dodo tampak melamun didepan gundukan kertas yang ia remat asal yang sudah ia susun menjadi sebuah piramid. Pikirannya menerawang, kembali teringat kalimat bundanya yang tadi menelponnya melalui handphone wali kelasnya.

papa sakit, kamu mau luangin waktu buat jaga papa ga?

Kalimat penawaran itu serasa tidak mungkin bagi dodo. Menjaga sang papa dirumah sakit? Untuk apa? Apa itu permintaan sang papa? Atau hanya permintaan bunda?

Kalo itu hanya keinginan sang bunda, rasanya dodo tak bisa.

Karna buat apa ia menjaga sesuatu yang tak benar-benar menginginkannya?

dodo menatap gundukan sampah yang akan menjadi salah satu karya seni yang akan dipajangnya diacara pagelaran seni disekolahnya. Gundukan itu memiliki aroma busuk yang sengaja ia campur dengan aroma bunga mawar.

"bolehkan mengabaikan seseorang yang selama ini mengabaikannya?"

dodo, boleh egois, kan?


To be continued.

A/N

'ah dia mah emang begitu kalo lagi marah, nanti juga baik lagi'

'dia orangnya santai kok, gausah diambil pusing kalo dia marah, nanti juga melucu lagi.'

benar ya, terkadang, menjadi terlalu paham juga bisa jadi bumerang. Sampai-sampai, mengabaikan perasaan seseorang.

jangan benci gama dulu, ya. Jangan marah sama dodo dulu, ya.

mereka berdua hanya tengah belajar perlahan dari sisi egois yang mereka masing-masing punya.

Jadi, gimana dengan chapter ini? Boleh kudengar komentarnya?

luv, kacil.

we're in this together. | pds2-pdxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang