Part 2

1.4K 211 13
                                    

To raise a single flower

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To raise a single flower. How much rain fell in your eyes? Look at me, I have bloomed prettily. Even if I fall to the ground. I will make you walk only on flower paths.

Sejong - Flowe Road

Pagi yang sama dengan hari kemarin, cerah beriring senyum lebar Choi Hyein menyambut pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi yang sama dengan hari kemarin, cerah beriring senyum lebar Choi Hyein menyambut pagi. Gadis itu menyibak selimut yang membungkus tubuh kurus, berjalan dengan riang memasuki kamar mandi. Bersenandung merdu di bawah kucuran air. Para pekerja di rumah megah pun tersenyum tertular keceriaan nona muda setiap pagi.

Tiga pulih menit berselang, Hyein turun mengenakan terusan bunga-bunga. Rambutnya tersemat pita merah muda mengait separuh rambut.

"Selamat pagiiiiiii...!" Serunya girang lantas mengecup pipi ayah dan ibunya. Ia mengambil tempat di hadapan sang ibu.

"Pelankan suaramu Hye." Choi Minjung—ibunya mengelus dada, putrinya selalu punya semangat berlebih.

Sementara Choi Jeekwan tersenyum menecup pelipis putrinya. Waktu sarapan keluarga Choi selalu ramai, terlebih Hyein kerap kali mengomeli Yongjin, kakak laki-lakinya karena selalu menambah makanan ke dalam piringnya. Dia bilang supaya tubuh Hyein tidak seperti triplek, memang kakak kurang ajar.

Choi Hyein, gadis yang sempurna dengan hidupnya. Keluarga bahagia bergelimang harta, orang tua dan kakak yang menyayangi sepenuh hati, paras rupawan, kulit putih mulus dengan barang mahal membalutnya.

Sudut bibirnya tertarik, melengkung penuh haru mengamati keluarga bahagianya yang tengah bersenda gurau. Hatinya menghangat, Hyein memang sudah bahagia. Hidupnya sudah sempurna, kan?

***

Gulita menjelang kala Jeekwan menapaki kamar putri bungsunya, gadis itu terpaku pada deret poster sang idola, tersenyum seakan objek yang dipandangi ikut tersenyum padanya.

"Apa lelaki itu lebih tampan dari ayah?"

Sontak baritonnya mengalihkan pandangan Hyein, gadis itu melompat masuk dalam dekapan. Putrinya kini telah berusia dua puluh empat tahun, secercah ketidakrelaan bersemayam dalam hati. Putri kecilnya beranjak dewasa, sudah merasakan ketertarikan pada lawan jenis dan tidak menutup kemungkinan putrinya akan bersanding dengan pria lain cepat atau lambat. Namun bagi Jeekwan, Hyein tetap putri kecilnya yang diturunkan Tuhan dalam rumah tangganya.

"Ayah selalu yang paling tampan." Suaranya teredam, Hyein mengurai pelukan menggandeng sang ayah duduk di sisi ranjang kemudian menyandarkan kepalanya di pundak sang ayah. "Ada yang bilang bahwa ayah adalah cinta pertama putrinya, apa ayah percaya?"

Jeekwan membelai puncak kepala Hyein, "Benarkah?" Pria paruh baya itu bertanya ragu.

"Itu benar, ayah. Ayah pria pertama yang aku sayangi, aku sangat mencintai ayah. Dan akan selalu seperti itu, sampai akhirnya Tuhan memintaku kembali."

Untai kata yang terucap oleh bibir Hyein solah tanpa beban tapi mampu mencabik hati Jeekwan, pria itu terdiam. Pikirannya berkelana hingga bayang-bayang luka terasa nyata melukainya. Hingga ia berdeham dan kembali bersuara.

"Maka kau akan hidup untuk waktu yang lama."

"..."

Keheningan dan setetes air mata yang membasahi menjadi jawaban yang cukup. Bahwa putrinya tidak bisa menjanjikan usia yang panjang padanya, karena sejatinya kini mereka hanya mampu berserah pada takdir.

Lantas netranya mengamati potret pemuda yang mewarnai hari putrinya, lelaki yang sekiranya mampu menghidupkan semangat Hyein yang mulai surut. Memberikan kebahagiaan nyata pada putrinya.

Apa dia adalah kebahagiaanmu?

***

Ketukan pintu memecah hening ketika jam berdetak menyentuh angka dua. Sahut dari dalam membuat lelaki itu memasuki ruang bercat cream, senyumnya terkembang meski bau asap rokok menyambut kedatangan.

"Ayah."

Pria paruh baya yang masih tampak segar diusia senja tersenyum menyambutnya. Tangannya terulur menepuk sofa yang ia duduki, mengisyaratkan agar putranya duduk di sana.

"Baru pulang? Ibumu sudah tidur." Tanya sang pria berbalas anggukan singkat putra bungsunya.

"Aku sudah dengar semuanya." Tuturnya menjurus masalah yang membuatnya datang ke sini di tengah jadwalnya sangat padat. "Bagaimana bisa, ayah?"

Mata tuanya sayu menatap sang putra, "Monhyul sudah merencanakan ini sejak lama, kita ditipu habis-habisan. Tidak ada lagi yang tersisa. Ayah akan segera menjual perusahaan, setidaknya bisa menutup sedikit hutang dan menyelamatkan karyawan. Baekbeom akan mengurusnya." Ia sungguh telah berpasrah diri.

"Katakan apa yang bisa kulakukan? Aku akan membantu sebisaku."

Jemari kokoh Byun Baekjeon menepuk puncak kepala, "Jalani harimu seperti biasa, jangan buat ini semua membebanimu."

"Ayah..."

"Kau sudah cukup membantu dengan membayar gaji karyawan. Ayah bisa mengatasinya."

Pandangannya lekat menelusuri paras kuyu sang ayah, pria paruh baya itu tampak kelelahan di usia senja. Kelopak matanya cekung menandakan beban yang ia pikul. Seberapapun Baekjeon memintanya tidak memikirkan, Baekhyun tak akan pernah bisa. Ia akan ikut terluka jika ayahnya terluka. Lantas tarikan napas dalama memasuki rongga paru-paru, kemudian terhenpas ke udara. Baekhyun memandang Baekjeon dengan keyakinan.

"Terima saja bantuan dari paman Jeekwan, ayah. Aku dengar paman sedang mencari pasangan untuk putrinya. Aku mau menjadi pendamping putrinya."

"Baekhyun kau tidak perlu—"

"Aku akan ke rumah paman besok. Tolong kali ini ayah menerima keputusanku."

Lelaki itu merangkul tubuh ringkih Baekjeon, "Aku menyayangi ayah. Hanya kali ini. Biarkan aku melakukan sesuatu." Baekhyun melempar senyum sebelum berlalu.

Tidak apa, apa yang ia lakukan belum seberapa jika diukur dengan pengorbanan kedua orang tua yang membesarkan dan mendidiknya.

Baekhyun, hanya perlu sedikit berkorban.

***
Hai, masih ada yang baca? ^^

Be With You [BBH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang