Restless (2)

4.7K 415 58
                                    

Untuk ukuran kemandirian, dibanding Phana dan Kit, Beam paling mandiri dan paling lebih dulu. Itu semua karena ia korban broken home. Kedua orangtuanya (agak) kurang peduli sejak ia masih SMP.

Jadi, ketika ia sudah berstatus pacar seorang bernama Forth yang sebenarnya sangat suka memanjakan dia, segalanya jadi kurang berefek.

Beam jarang sekali meminta bantuan pacarnya untuk hal-hal yang (terpaksa harus) bisa ia lakukan.

Seperti terakhir kali ban mobilnya bocor, ia tidak ada ban cadangan dan dongkrak, ia lebih memilih menunggu derek 2 jam dibanding mengabari Forth, yang ia tahu akan meninggalkan apapun untuk membantunya.

Dan Forth jelas tidak bisa marah karena urusan begini. Pacarnya keras kepala bukan main.

Tapi rupanya beda kasus malam itu...
Hampir jam 9 ketika Beam menelponnya.

"Lagi di mana?" Tanya Beam pelan

"Baru balik kampus."

"Gue ke sana boleh?"

Alis Forth bertaut saat menjawab "Ya masa nggak boleh. Kamu udah punya kunci condo malah kan."

"Oke..."

"Udah makan? Biar aku beliin sekalian."

"Nggak usah."

Beam biasa bicara singkat di telpon, tapi malam itu Forth tahu, ada yang tidak beres dengan pacarnya.
.
.
.
Beam datang dengan mengetuk pintu walau ia memegang kunci cadangan condo Forth.

"Ngapain ngetuk pintu? Tinggal masuk aja padahal..." Forth langsung mengambil ransel pacarnya itu, menaruh di meja.

"Ya... Ngetes aja." Beam melepas sepatu, menaruh di belakang pintu. Entah 'test' apa yang dimaksud.

Forth duduk di atas ranjang, sibuk dengan ponsel di tangan kanan. Ada masalah dengan kelompok project-nya, tidak bisa diabaikan. Ia mendongak ketika tahu Beam berdiri di depannya

"Boleh duduk?" Tanya Beam.

Forth tersenyum bingung "Kenapa sih  hari ini? Semua harus pake ijin..." Ia menepuk sisi sampingnya.

Beam menggeleng, menggeser tangan kanan Forth, hingga pangkuannya terbuka "Di sini..." Tunjuknya.

Maksud Beam rupanya duduk di pangkuan Forth.

Sempat berkedip tidak percaya, tapi akhirnya anak teknik itu paham. Ia menaruh ponsel di nakas, lalu menepuk pahanya.

Beam lelah, nyaris stress.

Calon dokter itu naik ke pangkuan Forth, memeluk tubuh pacarnya dengan wajah tenggelam di leher jenjang itu.

"Capek ya?" Forth mengelus-elus punggung Beam.

Beam mengangguk.

"Mau aku ambilin susu? Atau kopi? Bir?" Tawar Forth.

Beam menggeleng.

"Ya udah..." Forth masih mengelus punggung Beam.

"Gue nggak usah lanjut apa ya, kuliahnya... Pusing banget. Kapasitas otak gue rasanya mengecil." Gumam Beam, suaranya lemah.

"Oke, nanti aku bantu cari opsi jurusan lain deh..." Jawab Forth santai tapi ia serius.

Beam melepas peluk, menatap Forth kemudian "Kok lu nggak ngelarang sih? Bilang 'jangan' gitu..."

"Kenapa harus dilarang? Kamu yang ngejalanin..."

"Gue gagal jadi dokter gitu? Nggak masalah?"

"Ya terus kenapa? Masih banyak yang mau jadi dokter." Kali ini Forth mengelus pipi Beam "I love you, Beam Baramee. Mau kamu jadi dokter, polisi, pawang ular sekalipun nggak ngaruh."

Beam tidak menjawab. Ia malah kembali memeluk Forth.

"Kenapa? Dedgdegan ya, dibilang gitu?" Forth balas mendekap pinggang pacarnya.

"Nggak sih... Cuma nggak tau mau jawab apaan." Dengan kata lain, Beam memang speechless.

Forth kembali mengelus-elus punggung pacarnya. Butuh waktu agak lama sampai Beam sudah agak tenang. Buktinya...

Beam melepas peluk, lalu ganti menangkup kedua pipi Forth. Ditatapnya mata itu sebelum ia memagut bibirnya. Akibatnya, bukan hanya lebih tenang, ia jadi horny juga.

"Mau lanjut?" Tanya Forth ketika merasa ada yang mulai mengganjal di antara pahanya.

Beam mengangguk.

Forth memeluk pinggang pacarnya, menurunkannya di ranjang kemudian.

Beam memang dipangku dan dipandu sampai stress-nya hilang malam itu.
.
.
.
End
.
.
.
Eh tapi kalo Dome dipeluk Pavel emang kayak pas banget gitu.
Gemesh gak sih

Call it Somehow || ForthbeamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang