8 - [WR] : Telfon Di Ujung Malam

22.6K 1.8K 32
                                    

Warjo tampak ramai seperti biasanya, warung yang memang di khususkan untuk nongkrong kaum Adam seperti Arsyad. Agak begajulan. Berisik sudah biasa menjadi makanan sehari-hari, asap pekat rokok saling beradu mengepul diudara memenuhi warung yang tak seberapa besarnya ditambah para manusia yang saling duduk berjejer ataupun berdiri.

Arsyad berdecak ketika Reza mendorong tubuhnya hingga meringsek semakin kepinggiran kursi. "Jangan kesini mulu kenapa sih, sempit bego." Tubuh Arsyad berbalas mendorong Reza.

"Jancuk, gue juga sempit dodol," balas Reza sarkas.

Arsyad berdecak lagi, ia bangkit meninggalkan Reza yang sudah tersenyum senang, Arsyad berjalan mengambil sepuntung rokok yang memang disediakan eceran di warung lalu menyulut batangan nikotin tersebut.

Ia butuh ketenangan sejenak, selain alkohol rokok pula menjadi pilihan.

Laki-laki bertubuh jangkung itu pergi keluar dan memilih duduk di kursi depan warjo bersama temannya yang lain.

"Tumben ngerokok?" Okta bertanya sembari memakan jajanan di tangannya.

"Stress," ujar Arsyad. Punggungnya tersandar pada tembok, netra kelam itu menatap lamun objek di hadapannya.

Bersamaan dengan itu sosok Arin terlihat dari radius beberapa meter darinya tengah berjalan sendiri. Arsyad kontan berdiri, lelaki yang masih mengenakan seragam OSIS dengan kemeja yang sudah di keluarkan itu membuang rokok di tangannya.

Lantas setengah berlari menuju tempat motornya terparkir. Suara sahutan Okta terdengar. Namun Arsyad abaikan.

****

Arin berjalan sendiri menyusuri pinggiran aspal, Papanya sedang rapat di kantor membuat Arin terpaksa harus pulang sendirian. Perempuan itu sesekali menendangi kerikil kecil yang mengganggu langkah kaki, hingga suara derum motor terdengar mendekat membuat Arin menengok dan terkejut saat melihat jika sosok yang berada di atas motor adalah Arsyad, manusia yang sama sekali tak terpikir kehadirannya oleh otak Arin.

"Ngapain?" tanya Arin kaget.

"Naik," titah Arsyad.

Arin menurut, toh lumayan juga kalau ia nebeng. Di perjalanan hanya suara deru motor matic Arsyad. Motor itu tiba-tiba berhenti di depan sebuah warung.

"Kenapa kesini?" Arin bertanya dengan mata yang terus memandang kearah warung yang terlihat ramai.

"Lo belum makan kan?" Itu hanya tebakan dan nyatanya memang Arin sama sekali belum makan.

Arin menggeleng. "Yaudah ayo masuk," ajak Arsyad.

Namun, langkah laki-laki itu tertahan kala merasakan sebuah tarikan di seragam yang ia kenakan. Ia berbalik.

"Emm ... gue enggak mau makan di sini," cicit Arin.

Arsyad mengerutkan kening. "Lo enggak mau makan di warung pinggir jalan?"

"Bukan," bantah Arin.

"Terus?"

"Em ... gue pingin makan mie ayam. Di sini kan enggak ada," gumam Arin.

Arsyad sedikit tergelak mendengar penuturan Arin.
"Ayok," rengek Arin.

Arsyad menghela nafas mau tak mau menuruti keinginan perempuan itu, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Tak terhitung berputar hanya demi mencari sebuah warung mie ayam dan bertemu ketika jarum jam hampir menunjukan angka 2. Mereka berdua turun, Arin dengan antusias berjalan dulu meninggalkan Arsyad yang di belakang yang sudah mengerutu.

Wedding Romance [END] (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang