4 - [WR] : Takdir?

23.5K 1.8K 51
                                    

HAPPY READING
.
.
.

Entah berapa waktu yang mereka lalui untuk saling melupakan kejadian berminggu-minggu silam itu, di antaranya pun kembali seolah tak mengenal lagi. Arin yang kembali dengan kegiatan sekolah dan belajarnya demi tercapainya nilai ujian yang memuaskan dan Arsyad dengan pekerjaannya untuk mengurus kedua adiknya di tengah sibuknya les dan belajar menyongsong UN.

Membagi waktu bukanlah hal yang gampang bagi Arsyad, apalagi kini ia sering pulang sore waktu yang seharusnya ia pergunakan untuk bekerja harus tersita demi belajar di sekolah. Jadi mau tak mau ia harus banting setir mencari pekerjaan lain yang menghasilkan pundi uang. Apapun Arsyad lakukan, menerima tawaran pekerjaan dari tetangga-tetangganya.

Arsyad kadang sampai tak ingat waktu, malam biasanya baru Arsyad pulang. Membuat Dela dan Dika sempat marah pada kakak sulungnya itu. Terlalu menguras tenaganya, tapi Arsyad juga tidak selalu setiap hari seperti itu sebenarnya. Kedua adiknya saja yang terlalu khawatir akan keadaan Arsyad.

Bicara soal kedua adik Arsyad, saat kejadian berminggu-minggu silam di mana Arsyad harus berdiskusi dengan Arin, di jalan Arsyad baru mengingat jika di rumah adiknya-Dika-sakit, teringat kilasan saat Dela menelponnya. Dengan cepat Arsyad bak pembalap langsung menacapkan gas membelah jalan raya tak peduli kalimat umpatan yang melayang ditujukan padanya.

Begitu sampai laki-laki itu tanpa basa-basi berlari masuk kedalam rumah dan betapa leganya ia ketika melihat sosok Dela yang sedang menyuapi Dika adik bungsunya yang baru duduk di kelas 1 SD, sedangkan Dela masih SMP kelas 2.

Bukannya disambut senang, kedatangan Arsyad justru dihadiahi wajah datar keduanya. Apalagi Dela, bahkan perempuan berambut sebahu itu tak mau menoleh saat Arsyad memanggil. Arsyad sadar itu murni kesalahannya jadi, sebisa mungkin ia membujuk kedua adiknya agar memaafkan.

Kembali kemasa sekarang saat adiknya sudah memaafkan. Arsyad tengah menyesap batang nikotin di warung belakang bersama teman-temannya. Bolos jadi pelampiasan saat otak dan tubuh Arsyad mulai tak terkondisi, dia bukan tipe murid yang pintar. Ia nakal. Namun, ia masih punya pikiran untuk punya batasaan, tapi apa masih berlaku batasan itu ketika ia justru  sudah meniduri perempuan. Gila. Sebajingannya Arsyad tak pernah terbesit pikiran untuk merusak anak gadis orang.

Mau berusaha dihilangkan pun kenyatannya susah, hampir setiap malam menjelang tidur otak Arsyad bekerja mengulik kilasan kejadian itu dengan sangat jelas. Menyesal Pun sama saja.

"Ngapain sih lo? Galau banget," celetuk Guntur teman Arsyad bolos.

"Pusing gue mikir hidup," balas Arsyad asal.

Terkadang kita juga butuh privasi, bukan bermaksud tak menganggap tapi bercerita pun tak akan menjamin jika mereka akan diam saja.

"Masih bingung mau kerja apaan?" Reza menyahut sambil berjalan keluar dari dalam bilik dapur tempat membuat Mi.

Sengaja memang untuk siapa saja yang jajan di Warjo di bebaskan untuk memasak sendiri di dapur.

"Ya," jawab Arsyad lagi. Jari telunjuknya terpatik menghilangkan abu yang mulai terkumpul di ujung rokok.

"Gue kan udah nawarin balapan kemarin, lo nya enggak mau." Reza meletakan semangkok Mie kuah di samping lengan Arsyad, kepulan asap terlihat mengudara.

"Ya gue gak bisa tiap hari ikutan balapan, kalian tau lah gue punya adek. Kalau mereka tahu gimana coba."

"Ribet ya idup lo." Guntur terkekeh, Arsyad berdecak namun dalam hati mengiyakan.

Reza menepuk keras bahu Arsyad. "Gausah di pikir dalem, rejeki mah ada yang ngatur. Nanti deh gue bantu cari kerja sampingan."

"Thanks ya."

Wedding Romance [END] (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang