Suara denting baskom saling beradu dengan sendok yang diaduk memutar. Dela, perempuan yang mulai melakukan aktivitas sejak pukul 4 pagi tadi, bahkan suara adzan belum berkumandang, tapi perempuan berusia 14 tahun itu sudah terjaga dan sibuk membuat berbagai gorengan. Tujuannya untuk dijual di sekolahannya. Ia tak minder dengan kesehariannya yang berangkat pagi dengan membawa macam gorengan lalu akan ia titipkan di kantin semua itu ia lakukan mengingat nasib keuangan keluarga yang hanya bergantung pada Arsyad, ia kasihan dengan kakaknya. Setidaknya apa yang di lakukan dapat sedikit membantu keuangan, tapi tidak lagi jika ditambah satu jiwa yang ikut hadir di rumah ini menatapnya dari jarak sepersekian meter di depan pintu dapur.
Arin, dengan baju yang masih dipakainya semalam perempuan itu masuk ke dalam dapur lantaran haus. Namun, dikagetkan dengan Dela yang pagi buta sudah sibuk di dapur juga sudah ada setumpuk gorengan tempe di atas meja dapur.
Perempuan berbeda usia itu hanya diam, Dela melanjutkan kegiatannya yang terhenti sejenak berusaha mengabaikan kehadiran Arin tanpa perlu repot bertanya ada apa ia ke dapur.
"Kamu pagi-pagi udah bangun La?"
Dela tak menjawab, tangannya masih sibuk menuangkan potongan tempe yang dibaluri tepung ke dalam wajan panas berminyak.
Arin merasa salah tingkah tak mendapati jawaban. Otaknya berusaha mencari topik, rasa haus yang ia rasakan mendadak hilang tergantikan.
"Kamu jualan gorengan di sekolah?"
Lagi. Dela tak menjawab. Arin mulai kehabisan akal memancing pembicaraan."Em ... Mau kakak bantuin enggak?" ujar Arin basa-basi menawarkan.
"Berisik, ngapain sih ke sini. Mending pergi ngerusuh aja tau enggak," ucapan Dela membuat bibir Arin terkatup rapat.
Hatinya sesak mendapatkan penolakan dari adik Arsya. Entah apa yang Membuat Dela membencinya, Arin tak tahu. Apa mungkin karena kehadirannya semakin menambah beban bagi perempuan itu? Tapi, kenyataannya memang begitu kan. Ia disini hanya menambahkan beban hidup seorang Arsyad juga adiknya.
****
Arin duduk diam di depan teras rumah, suasana masih sepi. Hanya beberapa saja laju kendaraan motor yang bisa ia hitung melewati depan rumah sederhana milik Arsyad, entah itu orang-orang yang hendak berangkat ke pasar pagi ataupun pulang sehabis sholat subuh di masjid.
Arin hanya diam memperhatikan walau sesekali perasaan tidak enak menghinggp saat ada tetangganya yang lewat menatapnya penuh heran lalu berlalu dengan saling berbisik mungkin membicarakannya. Seharusnya ia kuat, ini resiko menjadi bahan gunjingan warga lantaran statusnya yang hamil duluan, tapi tetap berusaha kuat pun ia tidaklah yakin bisa menghadapi omongan orang yang makin hari mungkin akan semakin banyak. Tadi hanyalah beberapa dari sepersekian banyaknya tetangga Arsyad, bagimana nanti jika ia keluar rumah?
Hidup dengan segala hal yang serba berkecukupan membentuk karakter Arin sebagai sosok yang sedikit manja, sejak kecil ia hanya tahu enaknya tanpa pernah tahu bagaimana sakitnya juga menjadi jatuh ke dalam agar tahu artinya bertahan. Dan kini disaat masa jatuhnya tiba ia hanya bisa menggigit jari tanpa tahu apa yang harus ia lakukan.
Kepala Arin tengelam di sela kakinya yang tertekuk, hingga sebuah sentuhan di puncak kepalanya membuat perempuan bermata sipit itu mendongak. Arsyad, lelaki itu tiba-tiba datang dan duduk di sebelahnya.
"Enggak usah mikir berat," ucapnya dengan pandangan yang menatap lurus kedepan.
Rambut lelaki itu terlihat acak-acakan juga sedikit basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Romance [END] (TERBIT)
Romance[Part lengkap tersedia di Karya karsa] Sebagai anak Sulung Arsyad mempunyai beban berat yang harus ia pikul untuk adik-adiknya. Hidup hanya bermodal kerja paruh waktu di salah satu restoran cepat saji bukanlah hal yang mudah. Arsyad itu nakal, namu...