18 - [WR] : Ciuman

26.2K 1.7K 121
                                    

Yuni seharusnya sadar untuk tidak mengetuk pintu kelewat antusias layaknya ingin  mendapatkan hadiah dari Arin. Berhari-hari Yuni menahan segala umpatan pada kesibukan yang terus menerus menerjang menjelang Ujian membuatnya rela menahan gejolak rasa ingin mendatangi Arin dikediamannya.
Berhubung hari minggu, tidak ada les-les ia menyempatkan diri menemui Arin. Kelewat semangat Yuni sampai lupa agar tidak mengetuk pintu kayu di depannya secara normal. Suara ketukan yang di timbulkan justru terdengar seperti rentenir yang akan menagih hutang, terlalu bar-bar.

"Iyah! Sabar!" Bukan wajah Arin yang pertama menyembul akan tetapi sosok perempuan berwajah mirip Arsyad versi wanita yang asing di otak Yuni. Ia mengerutkan kening.

"Ada perlu apa kakak kesini?"  Dela bertanya ia sedikit mengerutkan dahi bingung.

Senyum canggung terpasang di wajah Yuni, seketika ia merasa malu sudah mengedor pintu terlalu semangat kalau tau yang akan keluar bukan Arin atau Arsyad tidak akan ia lakukan.

"Cari Arin ada?"

Bibir Dela membentuk 'O'tanpa suara. "Ada di dalam silahkan masuk."

Begitu masuk kedua mata Yuni terpencar berusaha mengeksplore apa saja yang ada di dalamnya. Begitu sederhana.

"Sebentar." Suara Dela membangunkan Yuni sesaat sebelum tubuh itu lenyap di balik ruangan yang Yuni tidak tahu apa.

Mata itu terus melanjutkan beredar, tangannya yang terbebas menyentuh permukaan sofa butut yang ia duduki. Berjarak 2 meter terdapat sebuah TV kecil yang tidak menyala. Segala pertanyaan memutari kepala Yuni seakan tidak yakin jika rumah yang ia singgahi sekarang adalah rumah Arsyad namun, semuanya semakin memperyakin Yuni ketika Arin muncul dari balik ruangan yang sama ketika Dela lenyap tadi.

"Yuni!" Perempuan berkaos biru itu berjalan mendekat, matanya memancarkan ketidak percayaan atas kehadiran sahabatnya.

"Kenapa enggak bilang kalau mau datang," tanya Arin begitu mendudukkan diri di samping Yuni.

"Kan kejutan," ucap Yuni antusias.

"Iya-iya, mau minum?" Tawar Arin.

Dengan antusias lagi Yuni menganggukkan kepalanya, ia haus. Arin terkekeh lalu bangkit membawakan segelas air putih di tangannya.

"Sekolah lo gimana Yun?" Ari bertanya disela Yuni minum. Memberi jeda Yuni menurunkan gelas putih di tangannya.

"Baik, gila sekarang lagi pusing gue sana-sini belajar mulu, tapi enggak ada yang masuk. Mana tinggal hitungan minggu Ujian. Capek Rin, mau lulus aja di susahin."

Senyum miris terpasang, seketika Arin merasa iri dengan Yuni yang masih bisa menikmati masa-masa remajanya. Tapi apa boleh buat, ia juga tidak bisa menyalahkan takdir kan. 

"Masih ada gosip tentang gue?" Arin bertanya membuat air putih tersembur dari mulut Yuni.

"Sorry enggak sengaja." Yuni berkata seraya menyerka sisa-sisa air putih di wajah dan bajunya.

Arin terkekeh, seakan ia sudah lama tidak merasakan hal seperti ini.

"Ya udah mereda sih gue enggak ada lagi denger-denger kabar soal lo."

Napas Arin berhembus lega mendengar itu.

"Orang tua lo gimana Rin?" Pertanyaan sensitif untuk Arin ia diam bingung hendak menjawab apa membuat Yuni mengerutkan kening.

"Gue di usir sama Papa." Yuni tahu ada beribu luka yang saat ini sedang Arin tutupi semuanya terlihat sangat nyata. Dalam hati ia mengerutuki diri atas bibirnya yang asal ceplos bertanya.

"Sorry lagi gue enggak tau. Pas beberapa hari setelah lo di nyatakan di keluarin gue datang ke rumah lo dan papa lo bilang kalau lo enggak ada di sana ... ternyata."

Wedding Romance [END] (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang