"Ini ... Rumah lo Ar?" perkataan itu terlontar begitu Arin menginjakan kakinya di depan halaman rumah Arsyad yang sangat sederhana. Jauh dari keadaan rumahnya yang bisa di bilang besar.
Arsyad berdecih melangkah mendahului Arin dengan koper milik perempuan itu di tangannya. "Gak usah pasang tampang menghina."
"Gue gak ngehina," balas Arin tidak terima.
Mereka berdua melangkah masuk kedalam rumah, bunyi gesekan terdengar begitu Arsyad menutup pintu. Sepi, padahal kalau Arin mengingatnya Arsyad pernah bilang jika ia tinggal bertiga bersama kedua adiknya. Lalu dimana mereka.
"Kok sepi?" Arin bertanya.
"Pergi main mungkin," balas Arsyad sekenanya.
Langkah kaki Arin hanya terus mengikuti kemana Arsyad pergi, ketika lelaki itu masuk kekamar yang Arin yakini adalah milik Arsyad sendiri. Ia berbalik, menemukan Arin yang berdiri tak jauh beberapa meter di belakang tepatnya berada di depan pintu menghalangi akses keluar masuk kamar.
"Ngapain ngikutin?"
Pertanyaan Arsyad menyadarkan Arin dari jelajah kamar, atensinya terpecah. "Gue enggak tau mau ngapain," ujar Arin jujur.
Ia warga baru di rumah ini, jadi wajar kan jika ia bingung hendak apa. Lagipula ia juga belum tau seluk-beluk keseluruhan isi rumah kecil milik Arsyad. Ia perlu berjelajah.
"Keluar," usir Arsyad.
Arsyad mendorong pelan bahu Arin mundur. Mereka keluar, dengan Arsyad yang masih mendahului diikuti Arin.
"Mau ngapain?"
Arin cenggo. "Ngikut lo."
"Gue mau ke kamar mandi. Mau ikutan lo?" Kedua mata Arsyad melotot menatap Arin yang kini merasa malu.
Tanpa sadar mungkin, mereka berdua berdiri di depan pintu kamar mandi. Arin memilih beranjak menjauh. Ia mendudukkan diri di kursi kayu yang merangkap sebagai ruang tamu juga keluarga. Penglihatannya melalang buana seolah membelah setiap sudut rumah, ada perasaan kasihan dalam diri Arin.
Jadi selama ini begini kehidupan Arsyad, laki-laki itu. Dulu yang Arin tahu soal Arsyad hanyalah kenakalannya, lelaki yang hampir tiap hari keluar masuk ruang BK entah persoalan bolos, rambutnya yang gondrong atau menjahili guru. Arin jadi teringat saat dulu ia tanpa sengaja memergoki Arsyad yang hendak masuk ke area sekolah melewati pagar belakang. Arin yang saat itu sedang kena hukuman membersihkan rumput liar disana.
Suara brak diikuti jeritan mengeluh Arin yang harus tertimpa tas yang datang dari langit mengharuskan perempuan berambut bob itu mendongak. Kepalanya tertimpa tas walau kosong tapi, berhasil mengagetkan Arin. Tangannya memungut tas buluk yang mungkin saja sudah berabad-abad tidak pernah dicuci.
"Heh siapa yang lempar tas!" Mulut Arin sudah di desain cempreng, jadi memungkinkan telinga siapa saja yang mendengar akan mendengar.
Tak berselang lama sebuah kepala muncul dari balik pagar tembok diatas. Jarak keduanya yang tepat beberapa kepala mengharuskan Arin mendongak juga Arsyad yang berada di atas menunduk.
"Minggir lo!" Dengan lihai seolah sudah menjadi keseharian tubuh Arsyad naik dan turun dengan mulusnya tepat di samping Arin yang masih menenteng tas kosong milik lelaki itu.
Pandangan Arin menelisik penampilan Arsyad yang jauh dari kata layak. Mungkin layak untuk kategori siswa nakal dengan baju keluar, rambut gondrong yang acak-acakan. Namun dasi OSIS masih terpasang di antar kerah lelaki itu.
Tagan Arsyad menyambar tas miliknya, pegangan yang Arin tumpukan pada tas terlepas karena tak bertenaga.
"Makasih udah ambilin tas gue." Setelahnya Arsyad pergi meninggalkan Arin yang terdiam di tempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Romance [END] (TERBIT)
Romance[Part lengkap tersedia di Karya karsa] Sebagai anak Sulung Arsyad mempunyai beban berat yang harus ia pikul untuk adik-adiknya. Hidup hanya bermodal kerja paruh waktu di salah satu restoran cepat saji bukanlah hal yang mudah. Arsyad itu nakal, namu...