"Mau jadi apa kamu Rin? Papa sama Mama kamu sekolahin kamu tinggi-tinggi supaya kamu bisa jadi orang sukses, tapi kenapa balasan kamu seperti ini?" Tubuh yang bisanya tegap itu seketika luruh ke sofa.
Surya menunduk enggan melihat Arin yang kian dirundung perasaan bersalah, Arin berlutut di depan papanya. "Maaf pa, maafin Arin."
"Minta maaf sama Mama mu." Kekecewaan benar-benar menyelimuti Surya hingga dengan tega ia mendorong Arin pelan mengusirnya.
Arin menangis, air matanya seolah terus mengeluarkan bulir tiada henti. Surya bangkit dan memilih pergi meninggalkan Arin yang masih terduduk di lantai.
Perempuan itu mengusap pipinya dan bangkit ia teringat Mamanya yang tak terlihat. Pelan Arin membuka kamar kedua orangtuanya dan disana ada mamanya yang sedang duduk sendirian melamun.
Hati Arin kian teriris melihat bagaimana keadaan Mamanya yang menyedihkan. Semua karenanya."Ma ...," panggil Arin lirih menyadarkan Herlita.
Herlita menatap datar putrinya yang berjalan mendekat, begitu Arin berada di depannya dan menunduk berlutut satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi Arin. Arin tertegun sejenak, ia tak percaya.
"Mama kecewa sama kamu ..."
Cukup. Hanya satu kalimat terlontar dari bibir Mamanya namun berhasil meruntuhkan pertahanan Arin. Perempuan itu bersujud di kaki Herlita.
"Maaf ... maafin Arin Ma ...." Kedua tangannya berusaha meraih tangan Herlita yang terlihat menghindar, bahkan wanita paruh baya itu enggan menatap Arin. Sebegitu menjijikkan kah ia?
"Ma ... Arin enggak sengaja." Arin berujar mengadu, berharap sang mama akan percaya. Namun, justru balasan wajah marah Herlita yang ia dapat.
"Enggak sengaja kamu bilang? Bodoh apa gimana kamu itu Rin! Mama kecewa sama kamu!"
"Maafin Arin Ma ...."
Herlita menarik paksa tubuh Arin agar bangkit, lalu digiringnya keluar sang putri dari kamarnya.
"Keluar," usir Herlita. Ia menutup paksa pintu kayu tersebut dan meninggalkan Arin yang kini jatuh terduduk di baliknya.
"Ma ... Mama!" panggil Arin parau. Tenaganya habis, suaranya apalagi. Harus bagaimana lagi ia menghadapi kedua orang tuanya.
Ia masih bertahan menangis di depan pintu bercat coklat itu, sebelum suara gaduh terdengar dari luar berhasil membangkitkan rasa penasaran Arin. Perempuan itu keluar menuju sumber suara dan betapa kagetnya ia ketika melihat sosok Arsyad yang sudah jatuh tersungkur di lantai ruang tamu.
Arin berlari menghampiri Arsyad, membantu lelaki itu bangun.
"Papa!" Surya yang tak lain adalah pelaku penyebab tersungkurnya Arsyad kini hanya diam menatap kedua anak adam di hadapannya.
"Papa belum puas beri laki-laki bajingan ini pelajaran!"
"Tapi enggak gini caranya pa," pinta Arin. Air matanya saja belum surut dan kini harus di tambah.
Surya membuang muka. "Laki-laki bejat seperti dia ini pantas mendapatkan pukulan. Semua itu enggak sebanding dengan apa yang sudah kamu rebut dari anak saya!" Surya kembali menarik kerah kemeja Arsyad yang sudah kusut.
"PAPA!" Teriakan Arin berusaha memecahkan pertengkaran berujung sia-sia. Keduanya masih berlanjut dengan surya yang mendorong Arsyad menjauh menuju zona yang lebih luas dan Arsyad yang hanya diam seolah pasrah.
Hidung Arsyad kini mengeluarkan darah segar, Arin memekik. Dengan tertatih ia berusaha melerai menarik papanya menjauh. Namun, usahanya percuma.
Tak kehabisan akal, ketika Surya hendaklah kembali melayangkan tinjauan tanpa menghiraukan wajah sang lawan. Arin bersimpuh memeluk Arsyad erat membawa kepala itu bersembunyi di sela rambut dan lehernya.
Tangan Surya hanya mampu menggantung di udara. Melihara tak ada reaksi apapun, Arin membuka kedua matanya yang semula terpejam. Ia mengangkat wajah Arsyad yang sudah dipenuhi luka, ringisan penuh kesakitan terus tergumam keluar dari bibir Arsyad yang berdarah.
"Arsyad," panggil Arin lirih.
Posisi mereka masih sama, Arsyad berusaha mengumpulkan tenaganya yang tersisa. Ia bangun berusaha berdiri dibantu Arin.
Dengusan sinis keluar dari bibir Surya.
"Laki-laki seperti kamu itu bisa apa? Baru di pukul aja udah mau mati.""Papah, cukup!" teriak Arin.
Nafas Arin memburu, kesabarannya sudah berada dilevel puncak. Ia tau ia salah, tapi kenapa harus Arsyad dan kenapa harus dengan cara yang harus melukai fisik laki-laki yang sesungguhnya tak sepenuhnya bersalah.
Surya tak menghiraukan suara putrinya yang meninggi, ia tau jika putri semata wayangnya itu tengah marah, tapi ia tak peduli.
"Nama kamu siapa?"
"Ar-Arsyad om," jawab Arsyad seraya meringis menahan nyeri ketika bibirnya bergerak berbicara.
"Bisa apa kamu hingga berani hamilin anak saya?"
Keduanya diam tak menjawab, Arsyad menunduk. Darah segar masih terus keluar dari lubang hidungnya meluncur ke bawah meninggalkan sebuah noda merah di atas lantai.
"Pah udah, kasihan Arsyad. Arin mau obatin dia dulu." Arin berusaha memberi pengertian pada Papanya, tapi Surya tak memberikan kesempatan untuk keduanya.
"Buat apa dikasihani, orang macam Arsyad ini enggak perlu dikasihani." Tatapan Surya beralih pada Arsyad. "Jawab pertanyaan saya tadi. Bisa apa kamu? Berani hamilin anak saya? Mau kamu kasih makan apa anak saya kalau kalian menikah? Cinta?"
Arsyad memejamkan kedua matanya mendengarkan segala perkataan Surya yang benar-benar melukai egonya sebagai lelaki. Ia berusaha tetap tenang.
"Maafin saya Om, saya tahu saya salah dan saya siap bertanggungjawab."
Tawa bernada merendahkan keluar dari bibir Surya. "Mana orang tua kamu sekarang?"
Tak ada jawaban. Arin melirik Arsyad. Laki-laki itu menundukkan kepala.
Tak kunjung mendapatkan jawaban, Surya tertawa. "Biar saya tebak, mereka pasti sudah tidak peduli dengan kamu."
Arin kontan mengalihkan tatapannya, ada sorot tak percaya mendengar perkataan kejam itu keluar dari bibir Papanya.
"Pantas saja kamu jadi bajingan sampai hamilin anak orang."
Kedua tangan Arsyad yang sejak tadi terkepal berusahalah menahan amarah kini tumpah, ia mendongak menatap Surya. Masih dalam rangkulan Arin, Arsyad berkata, "saya memang bajingan, saya yatim piatu dan saya miskin. Saya sadar itu, saya tahu saya salah, tapi saya mau bertanggungjawab atas kesalahan saya dan saya yakin kalau saya bisa mencukupi kehidupan Arin!"
Surya tersentak mendapati keberanian Arsyaa. Namun, dengan lihai ia menyembunyikan segala ke terkejutannya. Senyum sinis terpatri di Bibir Surya. "Buktikan! Kalau kamu memang bisa menghidupi anak sama calon istrimu itu. Buktikan! Bawa sana Arin juga anak mu. Jangan pernah datang meminta bantuin ke sini."
Surya menujuk keduanya sengit. Arin terperanjat tak percaya dengan perkataan yang papanya ucapkan. Ia ... Diusir?
"Ok akan saya buktikan kalau saya bisa menghidupi Arin juga anak saya! Tanpa bantuan dari Om sama sekali ... "
Arsyad bangkit dan berdiri tepat menghadap Surya sebelum melanjutkan. "... Satu hal yang perlu om tau, jika bukan karena anak om yang mendahului memulai saya juga tidak akan menghamilinya."
****
HALLO, GIMANA PART INI? SERU? TEGANG? NANGIS? NYESEK? AYO KOMEN!
TEKAN BINTANG JUGA YA FREN. REKOMENDASIKAN CERITA INI KE SOBAT KALIAN.
MUAH
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding Romance [END] (TERBIT)
Romantik[Part lengkap tersedia di Karya karsa] Sebagai anak Sulung Arsyad mempunyai beban berat yang harus ia pikul untuk adik-adiknya. Hidup hanya bermodal kerja paruh waktu di salah satu restoran cepat saji bukanlah hal yang mudah. Arsyad itu nakal, namu...