Tak Butuh Uang

6.5K 1K 92
                                    

"Kita ngapain ke sini?" bisik Hanbin kepada Haruto, "gue gak ada niatan jadi pelukis, gue ngegambar Doraemon aja malahjadi kaya botol kecap."

Haruto menoleh sebal kepada Hanbin, "A... pokoknya A Mbin jangan cerita apa-apa sama Bunda. Jangan!"

Hanbin menaikkan sebelah alisnya heran, "To..." panggil Hanbin pelan, kedua tangannya memegang erat pundak Haruto, "Lo nggak lagi jual gue ke mucikari kan?"

"Ngga..." jawab Haruto datar dan disusul helaan nafas lega Hanbin, "Uto jual A Mbin ke perdagangan organ manusia."

"Lo kalo bukan anak manusia aja, gue jadiin opor dah..." gumam Hanbin sembari menatap Haruto yang kini sudah berjalan lebih dulu meninggalkan Hanbin.

"Haru..." Hanbin langsung berhenti saat seorang pria memanggilnya, "kamu sama siapa? Om-kan udah bilang, bawa wali kamu kalo kamu gak mau ajak Bunda."

Hanbin diam sejenak, bingung harus menjelaskan apa kepada pria berpakaian rapi di hadapannya ini. Hanbin yakin, beliau adalah Pamannya Haruto.

"Om Jidi ... Haru disini," suara serak basah Haruto langsung membuat pria tersebut menoleh kepada Haruto, lalu kembali memandang Hanbin, dan kembali memandang Haruto.

"Saya Kim Hanbin," Hanbin berinisiatif untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu, mengulurkan tangannya kepada pria tersebut, "anak ketiga Bunda Hanna."

Om Jidi mengangguk paham, "Saya kaget pas liat anda. Haru sama bapaknya aja gak mirip. Ini tiba-tiba ada kembarannya muncul."

Hanbin hanya terkekeh saja, berusaha terlihat sopan di depan Om dari Haruto itu. Membuat Haruto merasa terkejut karena melihat Hanbin kalem.

"Ada yang ingin saya bicarakan, mari ikut saya ke ruangan..." kata Om Jidi dan dijawab anggukan Hanbin.

Hanbin segera mendekat kepada Haruto, dan keduanya berjalan mengikuti Om Jidi yang sudah terlebih dahulu.

"Om lo kok serem si Ru?" bisik Hanbin dan langsung mendapatkan dorongan dari Haruto.

👦

Om Jidi menyerahkan sebuah map ke depan Hanbin. Sedangkan Hanbin yang tak paham apa-apa sudah deg-degan. Takut-takut nanti kaya masalah Ella yang jadi rebutan hak asuh.

Kalo misalnya map itu berisi hak asuh Haruto yang harusnya jatuh kepada tangan pamannya. Hanbin pasti langsung nelpon Kak Jin.

"Itu sertifikat rumah, dan beberapa aset tersisa milik almarhum Papah Haruto. Semuanya jatuh kepada Haruto yang menjadi anak tunggal. Tetapi, karena Haru masih di bawah umur, semuanya jadi dilimpahkan kepada saya..." Om Jidi menjelaskan sedetail mungkin. Sedangkan Hanbin sudah menoleh kepada Haruto untuk membuka map berwarna coklat itu.

"Saya akan melimpahkannya kepada anda, karena bulan depan saya harus pindah ke luar negeri..." lanjut Om Jidi, "Awalnya saya akan memberikan kepada Mba Hana, tapi Haruto bilang jangan kasih tau Bundanya...."

Hanbin langsung melirik tajam kepada Haruto, sedangkan yang dilirik hanya menyengir saja. Seakan tak ada rasa takut sama sekali.

"Untuk saya pribadi, mungkin saya harus berbicara pada yang lebih tua dari saya terlebih dahulu," kata Hanbin "dan selain itu juga karena ini milik Haruto, saya harus bertanya juga kepada Haruto."

"Sebenarnya... Haru sendiri gak butuh semua ini Om..." kata Haruto sedikit ragu.

"Tapi, ini semua hak kamu... ini punya kamu."

"Gini aja deh Om..." kata Haruto "Rumah, dan investasi Papah yang lainnya, tolong kasih ke Panti Asuhan Cinta Kasih, yang ada di dekat rumah aku... bilang itu atas nama Papah. Biar itu jadi amal buat papah" pinta Haruto "Uto akan ambil galeri lukisan ini aja."

"Hanbin... gimana?"

Hanbin yang awalnya hanya diam memperhatikan langsung menoleh kepada Om Jidi, "Semua keputusan ada di tangan Haruto, dan mungkin untuk wali Haruto nanti, Hanbin akan serahkan kepada Mas Jinan atau Bang Bobby, yang lebih tua dari Hanbin."

"Oke, untuk urusan lainnya... Om serahkan kepada pengacara Om saja ya..."

Hanbin mengangguk, "Kami juga akan menyerahkan semuanya kepada pengacara keluarga kami..."

"Hah? Siapa?" tanya Haruto heran kepada Hanbin.

"Kak Jin..." jawab Hanbin santai.

👦

Hanbin langsung membukakan pintu mobil untuk Haruto, "Silahkan masuk tuan muda...." canda Hanbin dan disusul gelak tawa oleh Haruto.

"Lanjut ke rumah Sultan Brunei ya, Pak..." balas Haruto ikut mendalami drama yang dibuat Hanbin. Begitupun dengan Hanbin yang langsung mengangguk dan berlari untuk memutar menuju pintu pengemudi.

"Gila, jadi gitu rasanya jadi pewaris tunggal..." kata Hanbin "warisan gak dibagi-bagi."

"Oh iya doong..." balas Haruto sombong. "Tapi A, jangan bilang Bunda ya..."

Hanbin mengangguk paham, "Iya gak akan."

"Benar ya, dulu aja A Mbinmah ngadu ke Ayah sama Bunda..."

"Gue cukup ngerti ya, mana yang harus dikasih tau, mana yang gak harus dikasih tau..." balas Hanbin. "Btw, gue mau tanya... Kenapa lo nolak semuanya, dan cuma nerima galeri lukisan?"

"Papah pernah bilang, Papah gak akan kasih hartanya kepada Uto. Karena Papah gak mau Uto cuma bisa nikmati aja... Cuma bisa hamburin uang, udah itu bangkrut."

Hanbin mengangguk paham, kali ini ia merasa bangga kepada adik bungsunya.

"Lagian, A Mbin dulu pernah bilang. Harta yang paling berharga selain keluarga adalah Ilmu..." Hanbin terkekeh saat mendengar perkataan Haruto.

"Lagi pula, tujuan kita hidup bukan menjadi kayakan, A?" tanya Haruto "karena Bang Ibob bilang, kaya itu relatif. Kalo kita hidup pas-pasan, tapi kita nikmati. Ya kita akan selalu merasa cukup. Begitupun sebaliknya..." jelas Harto.

"Uto gak butuh uang, atau kekayaan yang seperti itu. Cukup beri banyak ilmu dan pengalaman agar aku dapat menghadapi hidup di masa depan. Semuanya sudah cukup."

"Woaaah, lo gak lagi kerasukan kan?" tanya Hanbin terdengar kagum kepada Haruto.

"MAAAAAAUUUUUUNG... AIIING MAUUUNG... MAUUUNG BODAAAS"

Tbc

HARUTO✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang