1 : rasa kehilangan

7.1K 366 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ini tepat hari ke-20 setelah kepergian bunda, dan gue belum ada bicara sama ayah. Ah, lebih tepatnya gue selalu menghindar tiap ayah ajak gue bicara.

Bunda harus pergi karena penyakit lamanya yang kambuh, setelah dua puluh tahun lamanya bunda berusaha kuat dan bertahan dari penyakitnya yang sewaktu-waktu bisa saja kambuh. Gue gatau apapun tentang itu, tapi ayah pasti tau semuanya.

Sewaktu kecil bunda pernah mengidap penyakit saluran pernapasan, dan lemah jantung. Penyembuhan atas penyakit saluran pernapasan dan infeksi paru-parunya sudah tuntas, tapi entah apa yang membuat penyakit itu kembali muncul.

Bunda gak pernah ada cerita sama gue, lalu pergi disaat gue benar-benar lagi bergantung sama beliau.

Semenjak bunda pergi, rumah jadi sangat sepi. Gue jadi tinggal berdua doang sama ayah, dan itu benar-benar bukan hal yang bagus buat gue. Sudah lama ayah gak pernah lagi mengajak gue mengobrol atau sekedar menghabiskan waktu bersama.

"Jen, sarapan."

Gue yang awalnya lagi pake seragam sambil mandangin bayang-bayang bunda di cermin pun menoleh, nampaklah ayah gue yang udah siap juga dengan pakaian khas kantoran. Ada yang sedikit berbeda, selain lengan kemejanya yang tergulung, ayah juga pakai apron yang biasa bunda pakai.

"Bentar."

"Seragam kamu lengkap 'kan? Dasi ada? Kaus kaki? Gesper?"

Gue tersenyum tipis. "Lengkap, yah."

"Oke, kalo udah siap langsung ke ruang makan, ya."

Gue mengangguk. "Iya."

Lalu ayah pergi lagi, gue pun segera merapikan seragam gue, mengambil ransel dan keluar kamar. Gue menaruh ransel di sofa, berjalan menuju dapur—tempat dimana ayah berada, dan kelihatannya sedang kewalahan menuang nasi goreng ke masing-masing piring.

Gue menelan ludah, telurnya terlihat kehitaman. Setelah kemarin masakannya keasinan, hambar, bahkan ada yang terasa asam, gue jadi merasa agak trauma.

"Kali ini gaakan keasinan, ayah jamin!" Ujarnya dengan percaya diri.

Gue tersenyum. "Tapi gosong."

Ayah menyengir. "Sedikit."

Gue menghela napas pelan, lalu duduk sembari mengambil sendok. Walau gosong, seenggaknya gak keasinan sih. Semoga. Gue melirik tampilan makanannya, kemudian memandangi ayah dari ujung kepala sampai kakinya.

Gue duga ayah pasti udah siap duluan sebelum masak, bisa gue liat mukanya yang kucel walau pakaiannya masih rapi. Gue menyendok sesuap nasi goreng, ayah masih merhatiin gue penuh harap dan was-was.

"Um, lumayan."

"Yess!" Ayah kelihatan senang banget.

"Walau agak pahit karena gosong..thanks for your effort, yah."

Ayah tersenyum, ini kali pertamanya gue lihat ayah tersenyum setelah kepergian bunda. Dan, gue merasa ada sensasi senang tersendiri.

"Ayah juga makan."

Ayah mengangguk, ayah ikut makan. Pas udah mengunyah sesendok nasi, tiba-tiba aja ponselnya berdering.

Terdengar helaan napas berat darinya, dia beranjak menuju kamarnya. Gak lama kemudian kembali keluar lengkap dengan tas kerjanya, juga jas kerjanya.

"Maaf, ayah gabisa anterin kamu." Ayah mendekat, lalu mengecup puncak kepala gue.

Aneh, sebelumnya gue gapernah suka dikecup ayah. Karena udah lama banget ayah gapernah kecup, atau meluk gue selama bunda masih ada.

Ayah pergi, lalu tersisa gue sendiri.

Rumah semakin senyap, dingin, dan hening.

Seketika napsu makan gue hilang, pecahan memori gue tentang bunda kembali menyatu dalam otak gue. Mata gue serasa panas, tak terasa kristal bening langsung jatuh melewati pipi gue.

"Bunda gasuka kamu kayak gini. Kamu boleh sedih, tapi inget, anak cowok gak boleh nangis. Jangan jadi anak cengeng."

Kalimat itu terus terngiang dalam pikiran gue. Bunda selalu bilang begitu tiap tau gue lagi sedih karena ada masalah di sekolah.

...

















E X H I L A R A T I O N
2020, on_yourmark.

















should i publish it?





(8) exhilarationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang