•Chap»5•

516 41 11
                                    

"S—sakit .., bu." Lirih Fana saat rambutnya, ditarik paksa.

"Anak gatau diri!" Kila meluapkan emosinya pada Fana, dan langsung menyeret Fana pulang.

"Bukannya langsung pulang. Malah keluyuran!" tuduhnya lagi bertubi-tubi, bagaikan diserang badai. Seluruh perasaan Fana, sangat bercampuk aduk. Pada saat dipermalukan oleh Ibunya di tempat umum itu. Disaat Fana, sedang bekerja, tapi malah diseret pulang dengan kasar oleh Ibunya sendiri.

Tak memikirkan dirinya. Fana hanya tidak ingin, nama Ibunya akan menjadi jelek karena kejadian tadi.

Fana terus memohon maaf, sambil meringis kesakitan, memegangi kepalanya. "Fana gak main Bu, tadi itu tempat kerja Fana." Jujur Fana, ingin membuat situasi membaik.

Kila memperkuat jambakannya. Lalu membanting tubuh Fana, pada pagar besi, didekatnya. "Alasan! Saya tau kamu berbohong." Tanpa memberi waktu untuk Fana berbicara. Kila, sudah main tangan terlebih dahulu.

Menjambak. Memukul. Menampar

Tentu sangat sakit kan?

Bagaimana, jika yang melakukannya adalah Ibumu sendiri? Bagaimana perasaanmu? Dan apa yang akan kamu lakukan?

Fana merasakan sakit di seluruh tubuhnya. Dia terjatuh dengan pandangan mata yang mulai samar, lengan kirinya dia jadikan tumpuan untuk berdiri kembali. Sementara, lengan kanan, digunakannya untuk memegang lengan sang Ibu yang masih menjambak rambut miliknya.

Pusing. Kepala Fana, sangat pusing. Tak tau harus berbuat apa. Karena untuk yang ke sekian kalinya. Dia diperlakukan seperti ini oleh Kila, ibunya.

"Maaf tante. Ko kasar sama dia?" Suara berat, seseorang dihadapan Fana dan Kila.

Kila melepaskan jambakannya. Lalu mengusapkan lengan miliknya ke tepi tembok, "dia anak, saya." Lerai Kila, tak ingin orang lain ikut campur dengan masalahnya.

"Setega itu?" tanya orang tersebut mendekat. Kila sontak, menautkan alisnya kebingungan. "Kamu tau apa!" desis Kila, kesal.

"Saya teman Fana, boleh saya berbicara sebentar dengan dia?" Pungkasnya, perlahan mendekati Fana.

"Cih! Mau kamu bunuh pun, saya tidak perduli." Jawab Kila acuh, seraya mulai pergi menjauh.

Fana masih berdiam di tepi tembok. Dengan lengan dan tubuhnya gemetar.

Orang itu mendekatinya, lalu menyelipkan helaian rambut Fana, kesamping telinga miliknya.

"Lo, gapapa?" tanyanya memastikan. Suara itu. Membuat Fana, memperjelas pandangannya yang samar, dia seperti melihat seseorang yang tak asing lagi baginya.

Fana melotot kaget. Lalu, berusaha berdiri dengan bantuan dari orang tersebut.

"S—sarka?!"

—— - -

Sarka membeli obat P3K di apotek terdekat. Untuk memberikan pertolongan pertama, pada Fana.

Fana masih diam, tidak mau berbicara apa-apa pada cowok berkacamata itu. Begitu juga, dengan Sarka.

Mereka berdua berhenti di sebuah taman yang tak jauh dari kota. Sarka masih memakai seragam sekolahnya. Lengkap dengan tas, dan atribut lainnya.

Dengan sangat hati-hati jemari Sarka, mengobati luka-luka yang ada di lengan Fana. Dimulainya dengan sentuhan lembut. Agar membuat Fana, merasa nyaman.

"Kalo sakit, bilang." Tegur Sarka, masih fokus mengobati. Fana memalingkan wajahnya ke arah lain, berniat agar tak menatap sembarangan cowok. Siapapun, itu.

Setelah berhasil mengobati luka di lengan Fana. Sarka mengontrol nafasnya, sepertinya dia sangat fokus tadi. Sampai lupa caranya, bernafas. 

"Makasih." Ucap Fana pada Sarka. Melihat lengannya yang mulai membaik, senyuman kembali muncul di bibir Fana. "Masih sakit ya?" tanya Sarka tiba-tiba.

Sontak Fana, menggeleng dengan cepat. "Enggak, ini udah mulai membaik."

Sarka menoleh lalu menatap datar kepada Fana, "gw ga nanya, fisik lo." Imbuhnya membereskan perlengkapan. "Tapi, mental lo." Sambungnya, sukses membuat Fana terkejut.

Sarka beranjak pergi. Lalu tiba-tiba langkahnya, kembali terhenti.

"Kalo sakit. Jangan dipaksain. Fan," tegur Sarka, lalu pergi meninggalkan Fana sendirian.

Fana yang melihat kepergian Sarka, sangat berterimakasih kepada cowok itu. Bagaimanapun itu, Sarka telah menolongnya dari sebuah tragedi.

Fana tersenyum dan mengepalkan, tangannya erat. "Semangat. Fana!" Kata Fana, menyemangati dirinya sendiri.

—— - -

Fana pulang dengan berjalan kaki. Hari ini sudah larut malam tepatnya, seolah tak ada tujuan pulang. Fana berjalan kemana pun yang ia sukai.

Kakinya melangkah ke sebuah jalanan. Jalanan itu, yang kemarin dia datangi saat hujan membahasi tanah.

Fana tersenyum kikuk, lalu membuang nafas perlahan menutup mata. Menyenderkan tubuhnya ke tembok, yang berada di belakangnya.

Merasakan hembusan angin malam yang dingin, tubuh Fana seakan mulai menyesuaikan dengan keadaan hidupnya.

"Kiw!" Teriak suara itu tepat di telinga Fana.

Fana membuka matanya serempak, lalu menoleh ke samping. Dia berjalan mundur, lalu mengacungkan jari telunjuk nya ke depan. "Lo!"

"Lo juga." Kekeh Fano, melihat Fana.

Fana mengambil tas nya. Lalu berjalan ke lain arah, cepat-cepat menghindari Fano, pada saat itu.

Fano yang melihatnya, sontak buru-buru mengejar Fana, serta berusaha menyamakan kedua langkah kaki mereka. "Kebiasaan, ngeliat gw. Pasti kabur." Jujur Fano, memulai percakapan.

Fana mendesis pelan lalu berhenti. "Jangan ikut campur urusan gw tolong!" Teriak Fana, di tepi jalanan itu.

Untung saja suasana sepi, jadi tidak menggemparkan warga sekitarnya.

Fano lagi-lagi terkekeh. Lalu tersenyum, senyumannya yang sangat manis bagi cewek lain. Ternyata, tidak mempan pada sosok, seorang Fana.

"Mbak nya serem loh tadi, nempel-nempel di tembok. Saya kira kunti jomblo loh." Ledek Fano, mencoba mencairkan suasana.

Fana membuang nafasnya kasar. Lalu kembali berjalan, saat Fano ingin mengikutinya. Tangan Fana, mencegah untuk diam dan tidak mengusik ketenangannya. "Diem! Gausah nempel-nempel, sok kenal so dekat lo sama gw." Tegur Fana lalu berlari menjauh.

Fano melihat kepergian Fana dengan tatapan yang berbeda dari biasanya, sesuatu melintas di kepalanya. Fano pikir, mungkin Fana, adalah spesies langka didunia ini. Yang harus dia dapatkan. Mungkin, kalo dapat.

Fano membalikan badan, lalu melangkah pergi. Dengan bersenandung dan menampilkan gaya khasnya.

"Aku sayang kamu. Kamu sayang dia, yaudah iya." Gumam Fano, sambil berjalan.

*

Bogor, 04 Januari 2020

©smaryani_

Fana&Fano [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang