•Chap»14•

293 23 2
                                    

"Gimana keadaan lo?" Lirih Fano melihat Fana yang berbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Fana mengerjap-ngerjapkan matanya samar. Berusaha melihat siapa orang yang berbicara padanya.

"Baik," celetuk Fana kembali menutup matanya rapat. Fano menghela nafas, mengelus pucuk rambut Fana pelan. Sontak membuat Fana membelalakan matanya lebar. "L—lo?! Apaan sih," cegah Fana menepis tangan Fano.

Fano berdehem pelan. "Hm, kalo lo cerita dari awal mungkin ga akan separah ini Fan." Ucap Fano menatap Fana iba. Fana berdecih pelan, tak mau mendengar pernyataan Fano padanya. "Berisik, gausah ngerasa kasian. Atau lo boleh pergi sekarang. Pintu keluar ada dibelakang lo." Sahut Fana masih memejamkan mata.

"Lah ngusir?"

"Sana!"

Fano terkekeh seraya tersenyum simpul. "So—so an pukulin om-om badan jumbo. Akhirnya gini juga kan, babak belur." Pungkas Fano, memerhatikan Fana dari helaian rambut hingga kaki mungilnya, yang nampak sedang diperban akibat cedera.

Fana menghela nafas sebelum berbicara. "Ck, lo tau apa," sergah Fana memejamkan mata.

"Ga sakit?"

Pertanyaan Fano dibalas gelengan cepat dari Fana, Fano mendekapkan kedua lengannya seraya memerhatikan kaki Fana yang nampak sedang di gips. "Serius ga sakit," tanya Fano perlahan mengetuk-ngetuk gips tersebut.

"Bodoh! Gausah dipukul-pukul juga."

Fano terkekeh manis. "Istirahat ya—gw mau pulang dulu 'bye." Pamit Fano dengan tubuh membelakangi Fana perlahan kian menjauh, Fana acuh tak memerdulikannya. Tetap berusaha memejamkan mata menahan perasaan tak karuan yang berkoar didalam hatinya saat ini.

Tok

Tok

"Fano udah gw bilang kalo—

Ucapan Fana terhenti tatkala Kila, Ibunya memasuki area kamar rumah sakit itu dengan wajah yang muram.

"Ibu kenapa?" Fana bertanya khawatir, berusaha menenangkan Ibunya, yang kini sesenggukan seraya menangis histeris.

"Bu, kalo aku salah, aku minta maaf." Ucap Fana masih menatap Kila dengan perasaan Iba. "Kalo Ibu mau pukul aku, silahkan. Aku gak akan ngelawan," lanjutnya tersenyum getir. Pasrah dengan keadaan yang akan terjadi selanjutnya.

Kila memandang Fana singkat, dengan air matanya yang masih menetes hingga ke seluruh area wajahnya. Lengannya terulur mendadak menarik Fana perlahan, menangkupkan wajah Fana kedalam pelukannya. "F—fana, anak Ibu." Ucap Kila, berbisik tepat ditelinga Fana.

Fana membelalakan matanya terkejut, terlihat dari sorot mata juga gerak tubuhnya yang mendadak gemetar, bersamaan dengan Kila yang memeluknya erat. Fana kira ini hanya pelukan terpaksa, tetapi—aura ini, aura yang dirindukan Fana selama bertahun-tahun.

"Ibu ada apa?" Fana bertanya kembali, dengan sorot mata yang kian heran. Tak berbeda dengan Fana, reaksi Kila juga tak kalah unik. Dia berhenti meneteskan air mata, lalu memegang wajah Fana dengan lengannya. "Kamu masih mau anggap saya sebagai Ibu kamu?" Pertanyaan Kila, membuat Fana menggerakan lengannya. "Ibu ngomong apa sih, dari dulu sampai sekarang juga, Ibu itu Ibuku." Jawab Fana cepat, berniat menjelaskan.

"Saya itu kejam Fana! Saya pukul kamu, saya aniyaya kamu! Saya menyiksa kamu! Kenapa kamu masih mau menganggap seorang iblis ini Ibumu?" Nada suara Kila, mendadak berubah tinggi. Dia mengusap wajahnya kasar, mondar-mandir menangis seraya memijat keningnya singkat.

"Bu—," Fana mengaduh pelan, saat Kila melontarkan pertanyaan itu kepadanya. Entah apa yang dipikirkan Fana saat ini, tetapi melihat Ibunya yang sekarang menangis, itu membuat perasaan Fana sangat sakit.

"Aku ga pernah anggap Ibu itu salah, setiap yang Ibu lakuin ke aku, itu juga karena salahku. Aku yang salah, bukan Ibu." Sahut Fana menenangkan Kila.

Kila mendelik. "Kamu salah—

"Saya ini apa ya? Tidak tahu diri mungkin, malah menyia-nyiakan kamu yang menyayangi Saya apa adanya."

"Bu—

"Kalau kamu membenci Saya, itu pasti wajar. Dengan sikap Saya selama ini ke kamu, bisa jadi alasan yang kuat, kalau kamu benci Saya."

"Ibu!" Fana meninggikan nada suaranya.

"Fana, Saya kira. Lebih baik kamu cari Ayahmu, dan tinggal bersama dengan dia.

Setidaknya kamu akan bahagia disana, tidak ada pukulan juga cacian-cacian kejam yang terlontarkan dari mulut saya."

"IBU CUKUP! AKU MOHON CUKUP!"

*

Bogor, 22 Maret 2020

©smaryani_

Fana&Fano [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang