Dulu, Uwais sering bertanya padaku, kenapa aku ingin sekali pergi ke Praha. Dan jawabanku tak pernah berubah.
Dari Letná Park, aku menatap sungai Vltava yang membelah Ceko. Menimang-nimang selembar foto yang kerap menemani perjalananku dari Jakarta, Tibet, hingga ke Praha. Sebetulnya harapanku jauh melampaui sekadar selembaran foto ketika Uwais bilang ia juga punya mimpi untuk pergi ke Praha. Sejak itu aku berharap melakukan perjalanan panjang menuju kota ini hanya dengan Uwais.
Di Praha aku menemui Amang, kakekku, yang usianya sudah kepala delapan. Aku mengantarkan wasiat terakhir ibuku berupa abu kremasi dirinya pada Amang. Di masa lalu, Amang adalah sastrawan masyhur. Ia melanjutkan pendidikan di Praha ketika usia ibuku masih 15 tahun. Amang terjebak sebagai eksil yang dicabut kewarganegaraannya oleh Orde Baru di tahun 1965. Sejak itu ia hanya pernah pulang sekali ke Indonesia, tahun 2000-an, sebagai warga negara Ceko. Ketiadaan Amang selama puluhan tahun membuat nenekku meninggal dalam keadaan pikun tak lama setelah ibuku juga wafat.
Foto di tanganku bergerak-gerak tertiup angin. Membayangkan bagaimana Uwais mengambil potret pemandangan di South Col gunung Everest. Saat itu harusnya aku ikut mendaki. Namun, sebulan sebelumnya kakiku patah karena terperosok jurang di jalur Sanghyang Ropoh ketika mendaki gunung Ciremai. Mimpiku untuk menaklukkan Everest ikut kandas bersamaan dengan kecelakaan pendakian itu.
"Kenapa kamu terobsesi menaklukkan Everest, Is?" tanyaku suatu hari sebelum pendakiannya.
Uwais tersenyum. "Kalau aku mati di jalan, jasadku akan tetap utuh. Es akan mengawetkanya lama."
Aku mengernyit. Uwais punya konsep aneh soal kehidupan yang menurutnya membosankan ini. "Lalu kenapa kamu kepengin ikut-ikutan pergi ke Praha?"
"Kalau tinggal di Praha lebih baik daripada tinggal di sini, dikejar utang uang kuliah yang direntenirkan oleh pamanku sendiri, kenapa nggak?" balasnya.
Uwais selalu memimpikan kehidupan yang lebih baik. Baginya Praha adalah jawaban. Lain halnya dengan Amang yang menganggap Praha sebagai sebuah penjara.
Uwais meninggal sebelum mencapai puncak Everest. Menurut teman-teman yang satu ekspedisi dengannya, Uwais terperosok dari tebing Hillary Step, hanya sekitar 59 meter lagi dari puncak. Ia terjebak di celah curam bebatuan. Tak ada yang bisa menyelamatkannya selama berhari-hari sebelum helikopter SAR tiba dan mengangkatnya dengan bantuan berbagai alat. Di dalam kantong jaketnya, terselip sebuah foto polaroid yang kini berada di tanganku. Beberapa baris kalimat tertulis rapi di baliknya.
Manika,
Aku harap kamu mendaki bersamaku kali ini. Kita berpegangan tangan sampai ke puncak. Seperti itulah mimpiku. Dan, Nik, kalau sudah lulus kuliah ayo kita ke Praha dan menikah di sana.
Penuh cinta dari South Col, 7906 mdpl
Uwais.Kubaca ulang kalimat-kalimat itu dengan napas tertahan. Mimpi-mimpi Uwais selalu sederhana. Sesederhana keinginannya membangun hidup baru jauh dari pamannya yang pelit. Namun, seperti berusaha menuju puncak Everest yang sudah di depan mata, mimpi-mimpi Uwais menggelincir dari genggaman seiring dengan langkah kakinya yang terlepas dari pijakan di jalur pendakian. Uwais pergi dengan membawa sebentuk harapan yang selamanya takkan pernah terwujud.
"Nik!" Amang memanggilku dari kejauhan. Suara tongkatnya terdengar mengetuk-ngetuk jalanan berandesit yang kupijak.
"Ya, Amang!"
Aku melepaskan segenggam abu kremasi jasad Uwais dari dalam kantong blacu di pinggangku ke hamparan sungai Vltava yang berkilau ditimpa sinar matahari sore. Biarlah kenangan dan harapan Uwais terbawa jauh membelah Praha melalui aliran sungai ini. Ya, Is. Kini kamu sudah berada di Praha.
Purwakarta, 9/1/2020.
Untuk Andre.#RabuFF
#grupPM
#PerempuanMenulis
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA
Short StoryKumpulan kisah yang kurawi sejak engkau membuka mata, hingga gelap memeluk senja.