Puan tahu dirinya tak pernah imun dari luka atau rasa sakit. Sebab, kata temannya yang seorang dokter, rasa sakit adalah persepsi yang mengawang-awang yang diciptakan oleh pemikiran sendiri. Maka dari itu Puan selalu tegar; ia mengabaikan rasa sakit seolah-olah rasa itu cuma seumpama lalat yang bisa diusir oleh kibasan tangan.
Puan tak pernah sekolah tinggi-tinggi. Bisa bertahan hidup saja sudah untung. Baginya, menikah adalah pilihan yang memungkinkan ia bisa hidup lebih baik dan bahagia. Puan tak tahu, dalam pernikahan terselip duka dan luka. Rasa sakit yang kerap bertahun-tahun ia abaikan, kini tak ia gubris lagi. Kemampuannya menahan rasa sakit meningkat. Berlipat-lipat. Puan adalah perempuan kuat.
Puan tak punya mimpi. Baginya, mimpi adalah hal yang besar dan membola di angkasa. Sementara ia jauh menjejak bumi tanpa bisa menjangkau apa-apa. Ketika bertemu dengan seorang petapa yang konon telah moksa, lalu Puan dimintanya mengucapkan satu saja mimpi, Puan berkata dengan gentar seolah takut mimpinya terlalu muskil bahkan untuk di dengar. "Aku hanya ingin hidup," katanya.
Pada suatu masa yang dirundung gelap dengan wabah yang membuat hidup untuk sekali lagi merosot dalam lubang hitam, Puan melahirkan bayi. Sayang persalinan itu tak lancar. Puan mati di penghujung pagi tanpa rasa sakit. Anaknya pun ikut mati. Kudengar, ia tak mau lahir ke Bumi tanpa seorang perempuan yang sekuat besi.
Purwakarta, 19/03/20
Untuk para puan di Perempuan Menulis.#RabuFF
#PerempuanMenulis
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA
Short StoryKumpulan kisah yang kurawi sejak engkau membuka mata, hingga gelap memeluk senja.