Mei

120 6 3
                                    

Kata orang, aku anak seorang pemerkosa. Kata orang, ibuku cuma gundik. Dan orang-orang memanggilku Mei si Anak Cina.

Asal-usulku sama buramnya dengan langit Bandung yang kelabu. Ayahku jelas penyumbang gen mata sipit dan kulit putih pualam yang kumiliki. Tapi keberadaannya pun tak pernah jelas rimba. Mereka menyebut ayahku sebagai Si Pemerkosa. Namun, aku dan ibukulah yang dijadikan bulan-bulanan.

Hidup ibu sudah sulit sebenarnya. Miskin dan tak berpendidikan. Kalaulah ibu tak berparas cantik, mana mungkin diperbininya ia oleh seorang perwira Belanda yang membuat hidup kami jadi sedikit lebih baik. Di masa-masa suram ini tak banyak pribumi yang diperlakukan manusiawi. Apalagi perempuan.

Di sore berterik matahari itu wajah ayah angkatku—yang tentu saja sudah memiliki istri dan banyak anak di Belanda sana dan mati-matian menyembunyikan ibuku sebagai peliharaannya—tegang bukan main ketika aku membawa selembar kertas yang kupungut dari halaman. "Hujan kertas di luar sana," sahutku berkelakar.

"Nyai!" panggilnya menyeru ibuku yang kemudian berjalan tergopoh dalam balutan kebaya Encim, jarik, dan kelom geulis yang dibeli di Toko Keng.

"Aku harus dinas." Begitu saja. Ayah angkatku yang berambut pirang dan bermata biru itu lantas pergi dari rumah besarnya di selatan kota. Tak pernah kembali lagi. Dan hidupku sekali lagi berpusar dalam nestapa.

Belakangan aku baru tahu. Selembaran yang kupungut tempo hari adalah ultimatum dari tentara Inggris untuk mengosongkan Bandung. Esok lusanya setelah ayah angkatku itu lari bagai pengecut, orang berbondong-bondong mengosongkan rumah mereka. Para pribumi bergerak ke selatan, para Tionghoa bergerak ke utara. Tak lama, api membelah Bandung bagai lautan yang memanjang berkilo-kilometer jauhnya.

Wu, anak seorang saudagar tembakau Tionghoa, menggedor pintu rumahku di tengah karut-marut malam itu. Ia menjejalkan selembar surat setelah mengecup kedua pipiku. Katanya, "Mei, pergilah ke selatan. Papi punya teman bisnis pemilik perkebunan kina Pasirmalang. Mintalah suaka. Setelah semua ini mereda, kita bertemu di Grote Postweg, di depan toko buku Vorkink."

Wu, lelaki yang kucintai itu kemudian pergi ke utara dengan menumpang sebuah mobil Graham Peige sewaan. Aku pergi ke selatan, ke rumah pemilik kebun kina Pasirmalang. Kami diterima. Aku dan ibuku diberi suaka; tempat tinggal, pakaian, dan makanan. Setahun setelahnya, ibuku wafat karena malaria dan aku dijual pemilik perkebunan itu sebagai perempuan penghibur di Societeit Concordia. Nasib buruk ibuku yang diperkosa lantas dijadikan gundik seperti kemudian menyeretku dalam lingkar setan yang serupa tapi tak sama.

Setiap tahun di penghujung Maret yang mendung, aku pergi ke tempat yang sama yang pernah ia janjikan. Namun, seperti ayah angkatku yang pengecut, meski keadaan sudah mulai membaik dan tahun-tahun berlalu, Wu tak pernah muncul di depan toko buku Vorkink. Entah mati, entah pulang ke Cina, entah memang begitulah para lelaki zaman edan ini.

Lima puluh tahun telah berlalu sejak Bandung berubah jadi lautan api. Kini, di depan toko buku Vorkink yang sudah berubah jadi bangunan beton yang tinggi merayap langit, aku masih berdiri. Mengenang masa-masa hidupku yang sudah lewat, yang sama buramnya seperti langit Bandung hari ini.

---
Rachiana Galih,
15/01/20

#RabuFF
#Perempuan Menulis

SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang