Sejauh ini menatapmu saja dari balik konter kayu tua tempatku berdiri sudah membuat bahagia; meletup-letup seperti kembang api yang memelesat ke angkasa. Rutinitasmu, enam bulan sekali datang ke bengkel gitar di sudut kota ini, menjadi satu-satunya kesempatanku untuk bersemuka. Mengecap senyummu. Memagut indahmu.
"Kamu bisa bermain gitar?" tanyamu suatu waktu di pertemuan kita yang kesekian.
Aku mengangguk. Gitar adalah satu-satunya mediaku bicara dengan semesta, isyaratku.
"Suka main apa?"
Aku menunjuk poster Klara & Johanna Söderberg yang terpasang di dinding. Lalu kamu tersenyum manggut-manggut. Senyum manis. Laksana magis maut yang diam-diam bersembunyi dibalik hiasan dinding.
Hari itu jam demi jam bergulir lebih lambat. Kamu masih duduk di sudut ruangan yang terkadang terpapar debu ampelasan kayu tanpa merasa terganggu. Sesekali, sambil menatapku yang masih asik mereparasi gitar mahalmu, kamu melempar senyum yang mampu membekukan semesta.
Di akhir hari itu kamu pamit. Katamu, kamu akan pergi ke Amerika, berkarir menjadi musisi lalu menikahi gadis pujaanmu di sana.
Oh. Aku bisa mendengar suara denting dawai putus dalam hati. Lagi-lagi cintaku gagal sampai. Mungkin kali ini harapku memang terlalu muluk.
Ini, untuk menemani perjalananmu ke Amerika, isyaratku sambil memberikanmu sekeping CD berisi rekaman permainan gitarku yang tak sebaik permainanmu. Semoga kamu suka meski mungkin seluruh pesan itu akan luput kamu terka.
Kamu melangkah pergi. Lagi, suara dawai putus berdenting jauh di relung jantungku. Memang, tak ada perpisahan yang menyenangkan sekalipun antara si Bisu dan si Tampan dari sudut kota yang kelabu.
Purwakarta, 20/02/20
Untuk Loey.#RabuFF
#PerempuanMenulis
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA
Short StoryKumpulan kisah yang kurawi sejak engkau membuka mata, hingga gelap memeluk senja.