Ketika perjumpaan kemudian berakhir meruntuhkan nalar, kupikir satu-satunya jalan terbaik adalah berpisah. Maka, Kekasih, kau akan terkenang selamanya sebagai perempuan yang telah menuliskan ribuan roman patah hati; belati-belati puisi yang akan menikamku sepanjangan sisa hidup. Namun, entah bagaimana kau kemudian akan mengenangku—mungkin sebagai lelaki yang memberimu lukisan biru musim panas; atau serupa lelaki-lelaki bajingan yang pernah mencampakkanmu pada kelopak air mata.
Di masa-masa itu, tujuh tahun lalu, kepergianku mungkin membuatmu bisu. Barangkali kau bersembunyi dalam sudut gelap kamarmu sembari merangkai kisah-kisah kelabu yang menguras air mata. Barangkali kau melarungkan kapal-kapal kertas berisi puisimu menyoal patah hati. Namun, jauh dalam lubuk hati kau hanya mengharapkan sesederhana perjumpaan kembali.
Di masa-masa itu, satu dekade lalu, aku tahu kau menatapku malu-malu dari balik pilar koridor sekolah. Aku tahu kau menyelipkan secarik kertas perihal rasa sukamu terhadap satu lelaki yang bahkan tak pernah kautahu namanya. Di masa-masa itu, satu dekade lalu, tulisanmu masih secerah langit biru di musim panas.
Purwakarta, 2 April 2020.
#RabuFF
#PerempuanMenulis
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA
Short StoryKumpulan kisah yang kurawi sejak engkau membuka mata, hingga gelap memeluk senja.