Sore mendung berhujan. Gadis kecil bersembunyi di balik tirai jendela, mengintip takut-takut pada jalanan yang membentang di depan rumah yang kini sunyi bagai tak berpenghuni.
Gadis kecil mengkeret di balik tirai. Bibirnya gelisah menggumamkan kata-kata tak beraturan. Diabsennya satu per satu penjual keliling yang saban hari melintas di depan rumah. Abang-abang roti bakar, mas-mas tukang bakso, kakek penjual klepon yang selalu mengeluarkan bunyi nyaring yang bising, mbak-mbak pedagang cilok yang selalu mampir ke depan rumah menawarkan dagangan yang disungginya di atas kepala. Tak ada satu pun yang muncul. Dan kini perutnya berbunyi ribut.
Gadis kecil menatap ibunya yang terduduk di depan kursi tak bicara; ayahnya yang tertidur di lantai tak bergerak. Ia mengerutkan kening. Pagi hari tadi kupingnya yang tajam mencuri-curi dengar perihal keributan di kota dan juga ludesnya sembako di warung-warung dan swalayan. Gadis kecil tak mengerti apa artinya. Yang ia tahu, kini perutnya menjerit-jerit tak keruan. Ia lapar. Ia berharap bapak penjual gulali melintas. "Sekali saja, aku mohon," ratapnya masih dari balik gorden.
Di televisi, sayup terdengar perempuan cantik pembaca berita berucap dengan gugup. Katanya, ada wabah mematikan yang mulai menyebar di setiap penjuru kota. Orang-orang sibuk berebut sembako. Kepanikan jadi pembunuh yang lebih keji dan lebih cepat ketimbang wabahnya sendiri.
Gadis kecil lagi-lagi mengerutkan kening. Ia mengendap ke dekat ibunya. Mengusir lalat yang mulai berdatangan entah dari mana.
Purwakarta, 05/03/20
Stay safe, everyone.#RabuFF
#PerempuanMenulis
KAMU SEDANG MEMBACA
SENANDIKA
Short StoryKumpulan kisah yang kurawi sejak engkau membuka mata, hingga gelap memeluk senja.