Kedai Kopi

29 4 3
                                    

Kalau saja kesialan adalah satuan, maka hidupku adalah mistar yang dibagi oleh garis-garis itu. Belum hilang sakit hatiku karena cinta bertepuk sebelah tangan, kini aku babak belur dan terkapar tak bisa apa-apa. Bahkan nyaris tak bisa bernapas karena hidungku patah, lantas darah mengalir dari sana seperti banjir air bah.

Semua ini bermula dari sebuah kedai kopi di ujung jalan. 

Sepuluh hari lalu, aku mendapati kedai kopi baru berdiri di ujung jalan yang sempit dan sepi ini. Pemiliknya, seorang perempuan berparas cantik dengan tubuh semampai. Perempuan itu punya sorot mata yang teduh, kadang berbinar. Rambutnya hitam seperti tumpahan aspal yang ditinggal begitu saja. Senyumnya manis, melengkung sempurna, seperti bintang iklan pasta gigi yang sering wara-wiri di televisi.

Pertama kali melihat perempuan itu aku langsung jatuh hati. Ia laksana malaikat, dewi, atau mungkin seperti Gaia si legenda Yunani. Ia selalu mendongak dan tersenyum bahagia ketika siapa pun melewati pintu kedai kopinya ini. Tak peduli pelanggannya memesan satu cangkir tapi berdiam diri sepanjang hari, perempuan itu tak pernah protes. Ia selalu menyambutnya dengan senyum bahagia. Tanpa bicara apa-apa.

Kemarin adalah hari kesepuluh aku mendatangi kedai kopi itu. Setelah menjaga jarak selama berhari-hari, kupikir ini saat yang tepat untuk menyatakan cinta. Kubawakan ia seikat aster merah muda yang senada dengan warna perona bibirnya.

Namun, ketika aku menyatakan cinta, perempuan itu tampak terkejut. Dari balik kedai, muncul seorang laki-laki yang juga terkaget-kaget melihatku menyatakan cinta. Lelaki itu berteriak lantang. Menghajarku sambil bilang, "Kurang ajar kamu, Aga!"

Aku terdiam sesaat. Lelaki itu kukenal suaranya meski tak kukenal wajahnya. Itu suara kakakku. Lantas ia menhantamkan tinjunya di pipi, sambil berteriak sekali lagi, "Lancang sekali kamu menyatakan cinta pada kakak iparmu sendiri!"

Terhenyaklah aku saat itu. Prosopagnosia-ku kambuh. Aku bahkan tak mengenali wajah kakak iparku yang bisu.

Purwakarta, 17/04/20

#RabuFF
#PerempuanMenulis

SENANDIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang