Sihyun menopang dagunya seraya menatap kosong ke luar jendela kantin rumah sakit. Ekspresinya datar. Langit pun kelabu sebab sang mentari enggan menampakkan dirinya sejak pagi. Suara hujan yang deras menjadi pelengkap cuaca yang kurang bersahabat hari ini. Di antara aroma hujan yang deras, ada wangi peralatan dan perlengkapan rumah sakit yang beberapa hari ini selalu menyapa hidungnya.
Langit seolah menggambarkan suasana hati Sihyun yang sudah beberapa hari ini tak lagi menyenangkan baginya. Semenjak Hyunsoo sakit, wanita itu jarang sekali menunjukkan senyum di bibirnya. Ia lebih sering melamun tanpa melakukan apa-apa seperti saat ini. Bahkan, untuk makan pun ia tidak berselera.
Hampir tiga puluh menit, ia duduk termenung dengan menatap derasnya hujan di luar sana, sambil sesekali menyeka air mata yang menyusup keluar kala teringat kondisi putra semata wayangnya.
"Selalu melupakan makananmu?"
Ia menoleh saat suara Hoseok menginterupsinya. Pria itu telah mendudukkan dirinya, dengan dua nampan makanan di atas meja. Bukan karena Hoseok kelaparan, dokter muda itu mana mungkin membiarkan Sihyun melewatkan waktu makannya, lantas berinisiatif untuk menemaninya.
"Kau tidak boleh terus terpuruk seperti ini, Sihyun-ah. Yakinkan dirimu jika Hyunsoo pasti akan segera mendapatkan donor ginjal."
Sihyun hanya tersenyum samar, lantas kembali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Hoseok yang melihat keadaan Sihyun hanya menghela napas karena respon yang ditunjukkan Sihyun.
Melihat Sihyun tidak bersemangat seperti ini membuat Hoseok merasa sedih. Sedih karena bersimpati pada Sihyun dan sedih karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk wanita yang telah merebut hatinya itu.
"Sihyun-ah, kumohon kau harus makan," pinta Hoseok.
"Kau tahu apa yang kini sedang kupikirkan, Hoseok-ah?"
Hoseok memiringkan kepalanya dan bertanya, "Mwogayo?"
"Saat hujan seperti ini, pasti akan banyak terjadi kecelakaan, karena jalanan sangat licin, kan? Mungkinkah salah satu di antara mereka bisa mendonorkan ginjalnya untuk Hyunsoo?" ucap Sihyun. Ia berpaling pada Hoseok dengan mata yang berkaca-kaca.
Tak ada reaksi berarti yang ditunjukkan pria itu. Ia terkejut mengetahui pemikiran dangkal Sihyun saat ini. Tapi, ia mengerti, Sihyun benar-benar sedang tertekan dengan musibah ini, sehingga bisa berpikiran demikian.
Detik berikutnya, Sihyun tersenyum getir, sadar akan apa yang baru saja di ucapkannya. "Aku memang jahat, kan?" Air mata di pipinya tidak mengering. Sekali lagi, pemandangan ini membuat hati Hoseok terasa sakit. Jujur, pria itu tidak bisa melihat Sihyun bersedih.
Diraihnya kedua tangan Sihyun. Digenggam dan diusapnya dengan lembut. Tatapannya sama sekali tak beralih dari wanita berwajah sendu di hadapannya. "Kau tidak jahat. Semua ibu, mungkin akan berpikiran seperti itu jika berada di posisimu. Tapi, kumohon percayalah padaku, Hyunsoo pasti baik-baik saja."
"Sampai kapan, Hoseok-ah? Aku tidak tahan melihat putraku kesakitan."
"Tuhan pasti punya alasan di balik semua ini, Sihyun-ah. Yakinkan dirimu jika semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu bersamamu."
...
"Jadi, kau benar-benar batal bercerai dengan Namjoon?" tanya Yoon Ah yang kini telah berada di kediaman putrinya. Wanita itu langsung mengunjungi putrinya saat mendengar perceraian Jaein dengan Namjoon dibatalkan.
Jaein mengangguk seraya menyesap teh hijau yang baru saja ia buat. "Itu yang dia katakan kemarin."
"Lalu, bagaimana dengan pengusaha itu? Padahal, pria itu sudah berencana memberikan hartanya padamu." Yoon Ah berdecak sebal, menyesali kegagalan hubungan putrinya. Padahal dirinya sudah senang, Jaein akan mendapatkan suami seorang pengusaha kaya, bahkan lebih kaya dari Kim Namjoon, ternyata dengan bodohnya Jaein melepaskan kesempatan emas seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Decision ✓
FanfictionSquel of Our Marriage - So please read Our Marriage first Semenjak memiliki Hyunsoo di hidupnya, Sihyun tak pernah sekalipun terpuruk. Bahkan setelah perceraiannya dengan Kim Namjoon 5 tahun yang lalu, sama sekali tak ada penyesalan di hatinya. Keha...