"It's the only place where we felt it so real, we tried to grow fast and proove who we are."
Forever Young-Alphaville
"OMG, ini jam cepet aja muternya. Alpha, bangun Al!" Teriak Dika pagi itu tepat ketika tersadar bahwa matahari telah muncul.
"Emang ini jam berapa, Kak?" Tanya Alpha setengah sadar.
"Enam dua puluh." Jawab Dika cepat. Wajah Dika tampak panik.
"Tuhan, mampus gue! Mampus gue!" Rutuk Alpha.
"Eits, mau kemana? Gue dulu yang mandi."
"Ih gue dulu yah, Kakak kan baik."
"Gak bisa, gue dulu, mau ada ulangan Matem!"
"Gue juga PKn plus Kimia tahu!"
"Gue dulu!"
"Ya udah, suit aja. Batu gunting kertas, tuh, kan gue yang menang, jadi gue dulu yang mandi." Tepat setelah Alpha menyelesaikan kalimatnya, ia langsung berlari ke kamar mandi.
"Alphaaaa!" Dika berteriak kesal.
Alpha tertawa dari dalam kamar mandi mendengar teriakan Dika.
Begitulah suasana kos setiap pagi, bangun kesiangan, berebut kamar mandi, ditambah lagi tugas-tugas yang belum selesai akibat semalam ketiduran. Jika Alpha dan Dika selalu bangun kesiangan akibat kembali tidur setelah shalat Subuh, maka berbeda dengan Rere dan Deeva, mereka selalu sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Sebenarnya itu berkat Rere yang tidak pernah absen bangun pagi lalu membangunkan Deeva.
"Alpha, Dika, cepet berangkat!" Rere berteriak dari halaman kos.
"Iya bentar, lagi pake sepatu nih." Jawab Alpha dan Dika serentak.
Seperti biasa mereka berangkat sekolah bersama. Berjalan beriringan atau terkadang mereka harus berlari. Hampir setiap hari mereka telat, maka tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali berlari ke sekolah, apalagi mengingat keberadaan Pak Satpam dan tim Gerakan Disiplin Nasional atau GDN yang bisa membuat mereka kembali berlari lebih lama di lapangan basket.
"Kalian lagi. Gak bosen datang terlambat, hah?" Sentak Pak Satpam di pintu gerbang.
"Hehehe..." Keempatnya nyengir kuda. Tidak bisa memikirkan jawaban atas pertanyaan dari Pak Satpam.
"Mm... Pak, ini sarapan buat Bapak." Malu-malu Rere mengeluarkan satu bungkus nasi kuning lengkap dengan gorengannya.
Pandangan Pak Satpam beralih pada kresek hitam di tangan Rere. "Cepat masuk sana, simpan saja makanannya! Kalian kira saya bisa disogok apa?! Awas kalau besok telat lagi!" Walau dengan muka galak, Pak Satpam akhirnya membukakan pintu gerbang.
"Yes!" Ucap mereka serentak. Walau sedikit malu, yang penting hari ini mereka tidak perlu dihukum.
Hasil penjurusan kemarin memutuskan kalau Deeva duduk di jurusan IPA, sama seperti ketiga kakaknya. Jika Rere dan Dika duduk di kelas XII IPA2, Deeva ditempatkan di kelas XI IPA2. Pada tahun ajaran kali ini denah kelas diubah lagi. Kelas akselerasi pindah ke lantai atas, sedangkan kelas dua belas dari koridor utama harus belok ke kiri dan kelas sebelas belok ke kanan.
Masa SMA membuat keempatnya menyadari kalau sekolah itu bukan tempat yang benar-benar menyenangkan. Sekolah itu gudangnya masalah. Bagaimana tidak, saat kecil dulu masalah terbesar yang ada hanyalah mainan direbut teman atau mama tidak mau membelikan es krim. Sekarang? Ada PR yang bertambah setiap hari, belum lagi kuis dadakan sudah lebih dari cukup menjadi masalah berat bagi para siswa. Walau sejujurnya tidak semuanya buruk, ada juga beberapa tempat nyaman, seperti kantin dengan mie tek-teknya, lab komputer dengan wifi-nya, dan perpustakaan dengan ketenangannya untuk tidur ataupun membaca novel gratis. Setidaknya ada "a little escape" bagi mereka di sekolah.
"Semester baru. Semangat!" Ucap Dika sebelum mereka berpisah di koridor utama.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
ARAL Bintang
Teen FictionPagi. Siang. Sore. Malam. Pagi. Jatuh. Merangkak. Berdiri. Berlari. Jatuh. Empat orang. Empat kepala. Empat hati. Empat luka. Empat sahabat. Bukankah tidak semua hal memiliki alasan? Jatuh cinta misalnya. Tidak akan ada alasan te...