Constellation

34 2 0
                                        

"So now I come to you with open arms. Nothing to hide believe what I say."

Open Arms-Journey

ARAL masih setia dengan predikat kesiangannya, tapi keberuntungan juga masih berpihak kepada mereka. Setelah melewati Pak Satpam, mereka kembali lolos dari inspeksi GDN. Namun pagi itu, seorang murid lelaki yang belum pernah terlihat di sekolah, nampak ditahan pihak GDN bersama dengan Dion, sang selebgram SMA Kartini. Keempatnya hampir tertawa dan ketahuan pihak GDN saat melihat rambut murid tersebut dicukur, sementara Dion terus berusaha membujuk pihak GDN agar berhenti memotong rambut temannya.

"Pak, dia murid baru!" Bela Dion, tapi usahanya sia-sia. Petugas GDN tidak bergeming.

"Rapikan rambutmu sepulang sekolah nanti!" Kalimat terakhir Petugas GDN sebelum meninggalkan Dion dan murid baru itu.

Sebelum para petugas GDN itu mengenali Alpha, Deeva, Rere, dan Dika, keempatnya segera berhamburan menuju kelas masing-masing.

****

"Anak-anak, sebenarnya hari ini kita kedatangan siswa baru, pindahan dari luar negeri, tapi Bapak tidak tahu sekarang dia di mana, kita tunggu saja mungkin sebentar lagi datang." Tutur Pak Eko, wali kelas XII IPA2 membuka kelasnya pagi itu.

"Eh, Dik, kayaknya anak tadi deh, yang gondrong itu!" Bisik Rere.

"Kayaknya iya deh, si gondrong." Jawab Dika pelan, takut ketahuan Pak Eko.

"Dari negara mana, Pak?" Tanya Gea

"Australia." Jawab Pak Eko singkat.

Dika terdiam, kenangan itu tiba-tiba bermunculan, menghajar bagian otak yang sempat ingin ia gegarkan. Australia adalah negara yang sebisa mungkin ia hindari. Mengapa? Karena negara itu telah mengambil konstelasinya. Tidak mengembalikannya selama enam tahun. Satu pikiran liar muncul. Dika berharap kalau itu memang konstelasinya. Ia merindukannya, tentu saja. Namun sisi lain dari dirinya tidak siap untuk membuka luka. Dika takut yang muncul kemudian adalah kebencian.

Bukan Rin, bukan dia. Batin Dika.

Lalu seorang murid masuk. Tidak seperti yang diperkirakan, walaupun ia berasal dari Australia, dia tidak tampak seperti bule, justru dia tampak seperti orang Indonesia pada umumnya, kecuali tinggi badannya yang di atas rata-rata. "Maaf, Pak. Saya terlambat. Saya murid baru di kelas ini." Ucap murid itu di ambang pintu.

"Oh? Silakan masuk dan perkenalkan dirimu!" Ucap Pak Eko, terkesiap karena melihat model rambut peserta didiknya yang baru.

"Terimakasih, Pak."

Suara berat itu membekuan Dika yang tengah terpejam. Tuhan, please!

"Selamat pagi teman-teman, nama saya Merdeka Satria Aranata. Salam kenal." Ucap laki-laki itu dengan bahasa Indonesia yang fasih serta senyum manis yang terus tersungging di bibirnya.

Sebagai seorang laki-laki, fisiknya seolah tidak ada cela. Maha Besar Tuhan Sang Pencipta. Selain itu, ia juga memiliki senyum yang manis. Entah kita sedang membicarakan gula atau senyum si murid baru, tapi senyum itu menghasilkan frekuensi tersendiri bagi Dika ataupun murid perempuan lain di kelas XII IPA 2.

"Teman-teman bisa memanggil saya Ara." Lanjutnya.

"Ara, jangan terlalu mengandalkan GDN untuk memotong rambut kamu, mereka bukan ahlinya! Dan juga hari ini hari terkahir kamu terlambat, kan?" Tegur Pak Eko. Beliau selalu punya kalimat yang pas dalam menegur.

Ara tampak cengengesan ditegur secara halus oleh wali kelas barunya, di hari pertama ia masuk pula. "Siap, Pak."

Setelah dipersilakan untuk memilih tempat duduk, ia berjalan menuju bangku kosong, baris keempat, banjar kedua dari pintu. Tepat di belakang bangku Dika dan Rere. Seketika itu Dika menegakkan posisi duduknya.

ARAL BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang