Prolog

113 1 0
                                    


Aku begitu syock ketika aku membaca sebuah kalimat yang sangat mengganggu pikiranku. Aku melihat sebuah tulisan tangan yang ditulis rapi diatas sebuah kertas dan dipotret dengan ketajaman kamera yang jelas dan dikirim kepada Mas El. Aku menemukan photo itu di file gambar yang sudah terhapus. Aku sangat penasaran dengan isinya, aku pun membaca isi dari tulisan tangan itu, dan itu membuat tanganku bergetar.

"Selamat ulang tahun calon imamku, semoga diberikan kesehatan, kelancaran rejeki dan kebahagiaan..." masih panjang isi tulisan itu namun aku tak sanggup untuk membaca habis semuanya. Memoriku pun seakan tidak ingin mengingatnya. Aku kaget, sangat kaget dengan isi tulisan itu. Siapa yang menulis itu untuknya? Dibawah tulisan itu tertera nama Alya. Sebuah nama yang tidak kukenal dan Mas El sama sekali tidak pernah menceritakannya padaku. Tulisan calon imamku yang di tulis wanita itu padanya terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku segera menggeser layar hp nya ke samping, berharap mendapat petunjuk selanjutnya mengenai siapa wanita yang mengirimkan tulisan ini kepadanya. Dan aku pun mendapat petunjuk. Aku mendapati sebuah photo bernamakan Alya di hp nya, dan kuamati photo itu. Persis dengan wanita yang kurasa aku kenal.

Aku kembali memutar otakku, dimana aku kenal dengan wanita ini? Wajahnya sama sekali tidak asing bagiku. Aku berusaha keras untuk mengingatnya dan sebuah wajah melintas di benakku. Yah, aku ingat. Aku ingat seseorang dengan wajah ini. Aku lalu membuka galeri hp Mas El dan mencari sebuah photo yang aku ingat. Dan aku benar-benar lemas, tatkala mengetahui kenyataan bahwa wanita itu adalah wanita dalam photo yang baru aku buka sekarang. Dia berpose duduk disamping Mas El dan tersenyum. Mereka tampak sangat bahagia dan walaupun photo itu diambil bersama-sama perempuan lainnya namun hatiku terasa sangat sakit. Aku ingat mas El mengambil photo itu saat ia baru saja menghadiri pernikahan salah satu temannya di kampung.Dia mengabariku saat itu, dia bilang ingin pergi ke kondangan temannya. Aku benar-benar tidak berpikir negatif saat itu, karena yang aku lihat di photo itu adalah gambar mas El yang sedang duduk dengan tiga orang wanita disampingnya. Dan aku pikir itu adalah teman-temannya yang juga baru saja menghadiri pernikahan. Mungkin mereka sedang reuni atau semacamnya, jadi buat apa aku cemburu atau berpikir negatif?

Namun setelah mengetahui kenyataan bahwa Mas El berphoto dengan wanita yang memanggilnya calon imam itu hatiku pun terasa sakit. Apalagi photo itu diambil tidak lama setelah dia menyatakan keinginannya ingin menikah denganku. Berarti ada kemungkinkan mas El menghadiri pernikahan temannya dengan didampingi oleh wanita yang memanggilnya calon imamku ini. Sedangkan dia baru saja mengatakan bahwa dia menyukaiku dan ingin menikah denganku. Kami juga baru bertemu beberapa hari sebelum itu. Lalu kenapa dia bersama dengan perempuan ini? Berphoto tersenyum akrab dengannya? Dan kenapa wanita ini berani memanggil dia dengan panggilan calon imam? Bukankah itu panggilan yang terlalu intim, sedekat apakah hubungan mereka? Apakah Mas El juga ingin menikahi wanita ini sehingga dia berani memanggil mas El dengan panggilan calon imam?Ah, Jantungku berdegup semakin kencang, memikirkan hal-hal yang semakin menggangguku. Apa Mas El berbohong dengan semua perkataannya? Apa dia tidak pernah menyukaiku? Apa dia sama saja dengan lelaki lainnya yang hanya bermulut manis? Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam benakku. Yang pasti hatiku terasa sangat gelisah dan tidak tenang. Aku berusaha menahan amarahku. Hal yang semakin menyakitkanku adalah ketika aku tahu bahwa photo itu juga diposting di status whatsappnya dengan caption bersama para bidadari. Padahal photoku dan dirinya saja tidak pernah diposting didalam statusnya. Siapa wanita ini? Kenapa ia terlihat spesial? Apa yang disembunyikan mas El? Aku menggigit bibir bawahku dan menunggu kehadiran mas El. Napasku tersengal dan terasa sesak. Aku berusaha menghirup udara sedalam mungkin dan menenangkan diriku. Namun tetap saja tidak bisa, air mataku menyesak ingin keluar dari tempatnya. Udara seolah menyempit dan membuatku sulit untuk bernapas. Sesaat kulihat Mas El sudah kembali dari toilet dan aku menatapnya tajam. Aku berusaha mengontrol emosiku dan hanya diam memandangnya. Sorotan mataku yang tajam tentu saja membuatnya curiga apa yang terjadi denganku. Bisa kutangkap kegelisahan wajahnya yang melihatku cemas.

"Ini siapa mas, kenapa dia memanggilmu calon imam?" aku menunjukkan layar hp nya dan terlihat jelas photo itu. Mas El terlihat terkejut, wajahnya terlihat pucat dan ia langsung mendekatiku.

"Aku bisa jelaskan semuanya" ucapnya. Namun ucapannya tidak bisa membuatku tenang. Tidak, kurasa aku butuh angin segar sebelum dia bercerita. Aku takut aku tidak bisa mengontrol emosiku saat ini dan bisa terjadi pertengkaran hebat diantara kami. Tidak sekarang, kurasa aku harus pergi. Aku lalu memutuskan untuk berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. Aku ingin melangkah pergi menjauh darinya, namun dia menahan lenganku dan melihatku dengan tatapan nanar.

"Tolong dengarkan dulu penjelasanku." pintanya.

"Biarkan aku sendiri dulu, aku butuh menenangkan diriku. Nanti kita bicara lagi" suaraku mulai bergetar.

"Tidak, akan kujelaskan sekarang!" Mas El bersikeras.

"Aku tidak bisa. Aku baik-baik saja, tidak usah khawatir. Aku hanya ingin menenangkan diri sejenak dan biarkan aku pergi" aku melepaskan genggaman tangan mas El dan langsung berjalan secepat mungkin menjauhinya. Bulir air mataku sudah tumpah dan membasahi kedua pipiku. Aku menyesak napas dalam, berhenti berjalan disaat aku sudah menemukan pegangan. Aku melihat jauh kedepanku, dan berharap tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi diantara kami? Atau mungkin hal buruk itu akan terjadi? Aku semakin tidak bisa menahan tangisku, dan waktu terus berlalu.

Menanti PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang